5 - Teka-Teki

4.4K 88 0
                                    

Gadis itu langsung membanting tubuhnya ke arah kasur. Menghembuskan nafas kasar, ia membuka jaketnya dengan posisi tidur. Lelah. Itulah yang ia rasakan.

Sejak menemui bu Rika di ruangannya sepulang sekolah, guru itu meminta- bukan lebih tepatnya menyuruh Raina untuk mengawasi sekaligus mengtest hukuman yang diberikannya kepada Ravan. Sejak insiden yang dilihat guru itu di perpustakaan, bu Rika mengira bahwa Ravan dan Raina itu dekat, yang menurutnya itu bagus karena Raina cukup masuk dalam daftar anak pintar disekolah. Raina seketika menyesal telah menjadi anak pintar ketika itu dihubungkan oleh cowok bernama Ravan.

Cowok itu.

Memikirkannya saja sudah membuat Raina pusing. Raina tau hidupnya akan mulai bermasalah ketika pertama kali ia melihat Ravan di pub malam itu. Ravan adalah biang masalah, disekolah. Jika diluar sekolah ia tidak peduli. Mimpi akan akhir tahun nya di sekolah yang tentram tidak akan terjadi.

Persetan!

Ia bangkit dari kasur dan membuka sepatunya secara kasar. Berniat ingin mengambil air putih karena tenggorokannya haus.

"Sudah pulang sayang?" Tanya ibunya yang tiba-tiba datang dari arah ruang tamu, menandakan bahwa ibunya itu baru pulang.

Raina meneguk airnya habis, masih kesal dengan ibunya ini. Perasaannya yang sedang kesal itu berubah seketika menjadi kebencian.

Sinta mengelus rambut anaknya dari belakang dengan lembut, "Kamu malam ini ada acara?"

Raina bergerak menjauh menghindari sentuhan ibunya, duduk di kursi meja makan. "Kenapa?"

"Malam ini kita makan malam keluarga ya? Udah lama kita ga ngumpul bareng." Ajak Sinta dengan senyuman manis, walau sudah kepala 30 tetapi kecantikan Sinta masih terlihat, awet muda.

Raina mendengus kesal, "Ada acara, gakbisa." Jawab cewek itu ketus berniat untuk meninggalkan dapur, tetapi dengan cepat Sinta menahan lengan anaknya itu.

"Raina.. Mamah mohon sama kamu sekali ini aja, coba buat buka hati kamu, jangan keras kayak gini." Sinta mengelus punggung anaknya yang langsung mendapat hentakkan dari cewek itu.

Raina tertawa ironi, "Seumur hidup, Raina gapernah punya keluarga, jadi kalo mamah ngomongin tentang itu ke Raina sekarang, itu udah basi. Bullshit."

"Raina!" Sinta membentak anaknya,

"Harusnya mamah gak biarin lagi si brengsek itu masuk ke kehidupan kita. Oh! Atau karena mamah butuh uang makanya nerima dia lagi?"

"Dia papah kamu Raina! Papah kandung kamu! Bagaimanapun kamu lahir dari darah daging dia! Kamu gapantes sebut papah kamu kayak gitu!"

Sinta terduduk di kursi memegang kepalanya pusing, "Raina mamah mohon, jangan bikin ini tambah sulit lagi."

"Mamah sendiri yang nyiksa diri sendiri!! Dan Raina gapernah mempersulit keadaan, Raina ngelakuin apa yang daridulu udah Raina lakuin."

Gadis itu keluar dari dapur dan membanting pintu kamar dengan kasar.

Brengsek.

Air mata nya turun tanpa diminta. Rasa sesak di dadanya membuncah keluar membuat ia lama-lama mati rasa. Perasaan itu, perasaan benci yang sudah ia kubur dalam-dalam, keluar begitu saja ketika malam itu Raina menyaksikan kejadian itu sendiri.

*

Ravan sedang makan malam di sebuah restoran elit berbintang lima, didepannya ada kedua orang tuanya juga. Cowok itu heran. Jika tidak ada acara penting, orangtuanya tidak akan repot-repot mengajaknya makan malam seperti ini. Makan malam dirumah juga sudah cukup, lagi pula hari ini tidak ada perayaan apapun. Dan jika bukan karena dipaksa, Ravan tidak mau ikut acara seperti ini. Baginya ini sangat membosankan.

Kedua orangtua nya saling memandang, menunggu waktu yang tepat untuk bicara kepada anak laki-laki nya itu.

"Ravan." Panggil papanya, Bagas.

Ravan menatap papanya, "Kenapa pah?"

"Sekolah kamu gimana? Lancar?"

Ravan tersenyum mengangguk, "Lancar kok pa, asal papa ga berhenti nyetor uang aja ke kepala sekolah biar si tua itu diem." Kedua orangtuanya ikut tertawa mendengar omongan Ravan.

"Hus kamu ini!" Tegor ibunya, sambil ikut tertawa.

"Bagus kalo begitu, papa harap kamu bisa lulus UN dengan nilai yang baik." Ucap papanya lagi.

Ravan hanya mengangguk.

"Ravan." Panggil papanya lagi dengan serius. Ravan menatap papanya lagi, menunggu yang diucapkan oleh lelaki paruh baya itu.

"Kamu tau kan, sebelum papa menikahi mamah kamu ini, papa sudah pernah menikah dengan perempuan lain."

Tau kemana arah pembicaraannya, Ravan hanya diam mendengarkan omongan papanya lagi. Dilihatnya raut ekspresi ibunya yang terlihat cemas dan sedih.

"Istri terdahulu papa punya penyakit, sehingga ia meminta papa mengabulkan permintaan terakhirnya sebelum ia meninggal. Ia sudah divonis tidak lama lagi oleh dokter." Papa menghembuskan nafas berat, dan mata ibunya sudah berkaca-kaca.

Ravan meneguk air di gelasnya dengan sekali tegukan, merasa tidak nyaman.

"Papa merasa bersalah Ravan, papa seperti punya kewajiban untuk mengabulkan permintaan terakhirnya, jadi papa harap kamu tidak akan kecewa."

"Apa? Gausah pake basa-basi."

"Papah harus menikahi dia lagi. Dan papah sudah melakukan hal itu."

Apa?!

Ravan langsung menatap kearah ayahnya tidak percaya, tangannya mengepal dengan keras. Isakan ibunya yang menahan tangis terdengar, "Terus mamah?!"

Ibunya itu langsung memegang tangan anaknya, "Tidak apa-apa Ravan, mamah ikhlas karena memang dari awal kesalahan ini ada di mamah. Tidak apa-apa."

Ravan teringat sejak umurnya menginjak lima belas tahun, orangtua nya pernah becerita bahwa ayahnya itu pernah menikah sebelum ini. Sebagai seorang anak berumur 15 tahun, Ravan tidak memusingkan hal itu karena ia merasa bahagia selama ini. Tapi mendengar bahwa ayahnya menikahi istri lamanya lagi sekarang, membuat Ravan tidak terima. Ini konyol. Apapun alasannya. Ibunya pasti terluka.

Ravan menatap ayahnya tajam, "Kenapa? Kenapa baru bilang sekarang?"

"Kalo ayah bilang saat itu, kamu pasti tidak akan menyetujui. Ravan, ayah melakukan ini ada sebabnya dan berkat dukungan Ibu kamu yang hebat ini juga."

Ravan menghembuskan nafas kasar menatap ibunya yang menahan tangis. Ravan yakin ibunya melakukan ini karena terpaksa.

Ibunya bersuara, "Tadinya kami ngajak kamu kesini untuk makan malam bersama dengan keluarga dulu papa. Tetapi berhubung anaknya tidak mau ikut jadi istri papa tidak bisa datang kesini."

"Agar kamu kenal langsung dan kita bisa membicarakan hal ini dengan baik-baik, biar ga salah paham entarnya Ravan." Kata ibunya lagi dengan tersenyum.

Ravan melihat ada raut kesedihan di wajah ibunya itu. Walaupun ibunya tersenyum, sebagai seorang anak ia bisa melihat kesedihan itu.

Ravan tidak mengerti. Kalau ibunya merasa tersakiti, kenapa ibunya itu menerima ayahnya untuk menikah lagi? Ravan tidak bisa menerima hal itu ketika tau bahwa ia punya keluarga lain. Ia tidak mau hal itu sampai terjadi. Ia tahu bahwa keluarganya tidak akan sama seperti dulu lagi. Kebahagiaan itu malam ini terengut seketika dari dalam diri Ravan. Secepat itu.

Ravan berdiri dengan mendorong meja secara kasar, "Ini konyol." Gumam Ravan pelan dan langsung pergi dari tempat itu. Mengabaikan teriakan kedua orangtuanya yang memanggil namanya.

AFTER RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang