13 - Poker

210 10 1
                                    

Sore itu, disaat matahari sudah mulai tenggelam dan hilang meninggalkan bumi, hujan turun dengan deras, menyisakan suasana pekat dan dingin.

Pikirannya kosong, dan matanya menatap kesembarang arah. Percikan air hujan mengenai kasurnya dan sampai mengenai kulit kakinya yang terekspos bebas, tetapi cewek itu membiarkannya. Sama sekali tidak peduli jika tubuhnya sekarang mulai basah oleh cipratan air hujan karena jendela kamarnya yang ia buka lebar-lebar.

Raina mengambil nafas panjang saat pikiran itu mulai merasukinya. Selalu seperti ini.

Hujan.

Selalu mengingatkan Raina akan kenyataan mimpi buruknya. Menyadarkannya bahwa ia bukan siapa-siapa. Menyadarkannya bahwa tidak ada orang yang benar-benar peduli padanya. Menyadarkannya bahwa ia sebenarnya tidak diinginkan untuk hidup di dunia ini.

Raina benci hujan.

Tetapi hujan adalah kenyataan hidupnya.

Air matanya tiba-tiba menetes tanpa diminta, tidak ada isakan dan Raina tidak akan repot-repot untuk menghapusnya.

Matahari yang semakin terbenam meninggalkan langit yang mulai menghitam, sama seperti suasana kamarnya yang mulai gelap karena tidak ada penerangan selain cahaya redup dari luar yang seakan menertawakannya.

Hening. Hanya suara hujan deras yang menemaninya saat ini dan Raina suka itu. Seakan-akan suaranya terus bernyayi dan semakin menyadarkannya.

Raina memiringkan posisi tubuhnya dan membenamkan wajahnya ke arah guling, mengubur tangis yang ia simpan diam-diam. Matanya sayup-sayup, dan kejadian itu seperti kaset rusak yang terus bermain di dalam kepalanya. Raina hanya membiarkannya, sampai ia merasa bahwa mimpi sudah menyambutnya.

*

"Gelas ke 4?" Tanya sang bartender saat cowok itu menyodorkan sebuah gelas kosong.

Ravan hanya mengangguk, dan kembali menerima gelas berisi anggur merah itu.

"Main gak Rav?" Tanya Dava yang sedang duduk disebelahnya, dan sama-sama memegang segelas minuman.

Tubuhnya berbalik, dan matanya menyipit menatap kearah kerumunan di meja pojok yang mulai penuh oleh orang-orang.

"Hadiahnya apa malam ini?" Tanya Ravan balik.

"Uang, minuman, cewek." Jawab Dava.

Ravan mengangguk mengerti, dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Cowok itu bangkit dari kursinya, "Main."

Dava ikut bangkit dari kursinya dan berjalan bersama Ravan kearah kerumunan itu.

Matanya menangkap sosok Gio yang sedang duduk dan fokus terhadap kartunya.

"Kenapa tuh anak mau main?" Tanya Ravan.

Dava merangkul pundak Ravan, dan berdiri disekitar orang-orang yang sedang menonton, "Hadiahnya bro, denger-denger cewek nomer satu di club ini, yang bayarannya mahal."

Mata Ravan berkeliaran, dan menemukan sosok cewek dengan pakaian dress ketat yang membuat siapa saja yang melihatnya menelan ludah. Tetapi Ravan tidak, ia hanya menyunggingkan senyumnya saat cewek itu juga menatapnya dengan cengiran khas wanita penggoda.

"Boleh juga." Sahut Ravan ketika melihat cewek itu sebagai hadiahnya malam ini. Cewek itu cantik dengan rambut hitam pekatnya yang panjang, wajahnya manis memberi kesan bahwa cewek itu lemah lembut, membuat Ravan ingin merasakannya.

"Tunggu puteran kedua kalo gitu, gue bakal bantu lo, asal uangnya gue minta sepertiga, buat modal bengkel gue Rav, gimana?"

"Lo yang main, entar hadiah uangnya lo ambil."

AFTER RAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang