Tidak salah lagi.

'Anak'nya dicintai oleh pemuda ini.

"Anterin saya ke rumah sakit. Saya mau ketemu anak saya," ujar Orly.

Vano mengangguk mengerti. Ia melihat ke arah Poppy. Kucing itu sudah selesai makan.

"Tapi, saya mau bawa kucing ini ke rumah saya dulu. Kalo dibiarin di sini, ngga ada yang ngerawat selama El di rumah sakit," ujar Vano sembari mengambil mangkok makanan itu dan membawanya ke bak cuci piring. Lalu, mencucinya.

"Oh! Ini Poppy, ya?! El pernah cerita kalo dia ada mungut kucing hitam pas awal masuk SMA," ujar Orly semangat, dan menggendong kucing tersebut, "wah, beneran jantan," gumamnya pelan saat melihat daerah privat Poppy.

Vano mengelap mangkok makanan itu hingga kering, dan memasukkannya ke dalam ransel. Begitu pula dengan kantong makanan milik Poppy.

"Saya nebeng kamu, ya. Soalnya tadi saya bareng Zin. Tapi, Zinnya kan pergi," ujar Orly.

Vano mengangguk mengiyakan. Ia memanggul ranselnya, dan mengeluarkan kunci duplikat apartemen El.

Setelah mengunci pintu, mereka segera turun ke bawah. Vano membawa mobil. Dia tidak akan bisa membawa Poppy menggunakan motor sendiri. Apalagi, kucing itu tidak memiliki keranjang hewan, artinya kan harus dipegang.

Orly duduk di sampingnya sambil memanja Poppy. Kucing itu tidak galak pada orang baru.

Kendaraan roda empat tersebut dinyalakan, dan mereka segera pergi dari sana.

****

"Di sini, jam besuknya sampai jam berapa?" tanya Orly sembari melangkah menuju ruang rawat inap El.

"Jam delapan."

Pria itu melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul enam lewat dua puluh menit. Tersisa satu jam empat puluh menit lagi.

Orly mengangguk mengerti. Jika tidak puas melihat Daniel, dia bisa ke sini lagi besok.

Vano membuka pintu ruang rawat inap El. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak melihat lengan kanan El yang sudah hilang sebagian. Jantungnya masih cenat cenut nyeri jika melihatnya.

Orly melangkah mendekat. Menatap anaknya itu dengan penuh kasih sayang. Ah, dia mulai menyesal tidak membawa El pergi ke Australia bersamanya.

Ah, tidak, tidak. Orly sudah tau bahwa dia memang akan menyesal meninggalkan anak ini. El tidak mempunyai siapapun selain dirinya. Dia juga tidak mudah percaya pada orang lain. Semua yang sudah Orly perbaiki pada diri El, pasti akan hancur berantakan jika mereka berpisah. Dan bodohnya, Orly pergi dan jarang pulang.

Ha, bodoh sekali.

Wajah yang semakin pucat itu, ia sentuh pelan. Pipinya tirus. Padahal, dulu sebelum ia pergi, pipi ini sempat berisi. Orly selalu merecokkinya dengan makanan.

Lalu, matanya bergulir ke arah lengan kanan El. Orly memejamkan kedua matanya sejenak, dan menepuk pelan dada El.

Anak ini tidak hanya hancur. Dia sudah berserakan. Begitu bangun, dia pasti akan kembali seperti dulu. Bahkan, mungkin lebih parah.

Orly melirik Vano yang menatap El dari ujung ranjang rumah sakit.

Ah, kecuali ada orang yang rela memungut diri El satu persatu dan memperbaikinya.

"Kenal sama Daniel udah berapa lama?" tanya Orly. Ia mengusap pelan kepala El. Menyentuh bekas jahitan yang disembunyikan oleh rambut kecokelatannya itu.

"Erm.. mungkin sebulan belakangan atau sebulan lebih? Atau dua bulan?" Vano mengerutkan dahinya. Tidak tau pasti sudah berapa lama kenal El.

Orly menaikkan sebelah alisnya. Baru kenal tapi Alvano sudah punya rasa? Atau pertanyaannya yang salah?

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now