ILHAM -- 4

760 51 22
                                    

Tubuhku mendadak kaku saat melihat sosok yang berjalan memasuki ruang meeting. Ia sempat memberikan seulas senyum tipis sebelum benar-benar duduk di kursi yang sepertinya memang sudah disediakan untuknya.

"Selamat pagi semua. Tidak perlu perkenalan lagi bukan? Mulai hari ini Bapak Ilham Raditya akan kembali bergabung bersama kita, dengan posisi baru sebagai General Manager, menggantikan Bapak Jalil yang kita tahu mengajukan pengunduran diri karena kondisi kesehatannya," Radiansyah Hutama, selaku direksi, CEO, yang lebih sering dipanggil 'Pak Dirut', dan tidak lain adalah ayah Ilham memberikan prakata.

Ilham pun berdiri dan sedikit berbasa-basi yang entah sama sekali tak masuk ke telingaku. Aku justru berkutat dengan menghilangnya lelaki itu dua tahun belakangan. Ya, aku tahu dia melanjutkan studi di Stanford, namun aku sama sekali tak pernah mendengar kabarnya. Tidak pernah ada yang membicarakannya. Bahkan Sofia. Walaupun dia sempat beberapa kali menggodaku, tapi teguran dari Erwin membuatnya diam.

"Kamu tahu, Din... kadang yang terlihat itu tak tampak dan yang tidak terlihat justru tampak jelas.. melihat dengan hati tidak akan mengkhianati."

Perkataan Erwin saat terakhir kali aku berkunjung untuk menengok si kecil masih terngiang di telingaku. Aku menangkap ada sesuatu di sana. Bukan. Bukan arti dari kalimat itu, namun lebih kepada benarkah dugaanku kalau Erwin menjalin komunikasi dengannya?

Aku tersadar saat mendengar suara berisik dan ketika kutolehkan wajah ternyata orang-orang sibuk membereskan diri bahkan sebagian telah meninggalkan meeting. Tanpa sengaja pandanganku bersirobok dengannya. Mata itu menatapku tajam tanpa berkedip. Aku buru-buru mengalihkan pandangan dan bersiap meninggalkan ruangan.

"Dinandra."

Aku terkesiap mendengar suaranya.

"Bisa ke ruangan saya sekarang? Anda tidak mendengarkan selama meeting."

Ilham berjalan mendahuluiku tanpa menoleh. Kuhembuskan napasku. Jadi dari tadi dia memperhatikanku?

Fitri menyenggol lenganku sambil berbisik. "Kira-kira dapat hukuman apa ya dari mantan pacar? Atau mungkin diajak CLBK?"

Aku hanya meringis. CLBK gimana? Lihat saja tadi sikapnya padaku yang begitu dingin!

Kutarik napasku dalam sebelum mengetuk pintu ruangan. Ilham melihatku sekilas lalu menyuruhku duduk di hadapannya.

"Tahu kenapa dipanggil kemari?"

Aku mengangguk pelan. "Maaf, Pak.. saya salah karena tidak memperhatikan ketika meeting. Saya siap dengan konsekuensi yang diberikan."

"Kesalahan lain?"

Aku mengernyit. Memang apa lagi yang tadi kulakukan?

"Tidak tahu? Kamu bersikap seolah tidak mengenalku tadi. Kenapa, Dina? Marah karena aku pergi begitu saja? Atau merasa bersalah?"

Aku tercengang. Kenapa jadi ke urusan pribadi? Ilham hanya tersenyum tipis saat aku meliriknya.

"Ayolah, jangan setegang itu!" Ia beranjak dari kursinya dan menghampiriku. Memutar kursiku menghadapnya. Menunduk menatap tepat di mataku.

"I miss you... so bad."

Aku menegang mendengar ucapannya. Jujur saja akupun merasakan rindu yang sama. Terlebih perasaan bersalah yang mendominasi dengan begitu kuat. Beberapa tahun terakhir aku sudah terbiasa bersamanya sehingga kepergiannya membuat seakan ada bagian yang hilang dari diriku.

"Belum merasakan apapun terhadapku?"

Aku hanya menggigit bibirku. Mau kujawab apa? Aku saja masih kesulitan mencerna perasaanku sendiri. Susah payah aku mengusir rasa kesepian tanpa kehadiran Ilham selama dua tahun ini. Dan itu menyiksa. Apa mungkin tanpa sadar ia telah merasuk jauh dalam lubuk hatiku?

ILHAMUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum