ILHAM -- 2

729 49 1
                                    

Ilham melambaikan tangan padaku. Aku hanya membalas dengan ucapan 'hai' tanpa mau beranjak dari tempatku. Tampaknya Ilham tak puas sampai dia menghampiriku.

"Ayo, Din. Ikut aku!"

"Ke mana?"

Ilham tak menjawab. Dia justru menarik tanganku dan menyuruhku agar tak banyak bertanya. Aku baru tersenyum setelah mobilnya berhenti di suatu tempat.

"Kenapa nggak bilang kalau mau kemari? Aku kan bisa belanja dulu untuk anak-anak."

"Itu udah ada di sini," Ilham menunjuk kepalanya. Lalu segera keluar dari mobil dan membuka bagasinya.

Wow! Pantas saja. Beberapa kardus sembako, buku, dan pakaian tampak menumpuk di situ.

"Dari mana kamu dapat sebanyak ini?" tanyaku saat membantunya menurunkan barang-barang.

"Sebagian dariku pribadi. Ada juga sumbangan dari nyokap dan saudara-saudaraku. Waktu pertemuan keluarga, aku mempresentasikan panti asuhan ini. Sepertinya ada salah seorang kerabatku yang tertarik untuk menjadi donatur di sini. Lumayan kan?"

Aku hanya bengong. Itu sih bukan lumayan, Ham. Itu bagus! Tak kusangka Ilham punya ide cemerlang begitu. Teriakan anak-anak membuatku sadar. Mereka berlarian menyambut kedatanganku dengan Ilham dan membantu kami memasukkan barang-barang ke dalam rumah.

"Aku yang udah lama kenal dengan panti asuhan itu aja nggak pernah terpikir sejauh itu, Ham," kataku saat Ilham mengantarkanku pulang.

"Terpikir apa?"

"Melakukan yang kamu lakukan untuk panti. Mempresentasikan pada keluargamu, bahkan bisa mendapat donatur. Aku malu pada diriku sendiri, sekian tahun berada di tengah-tengah mereka, ikut segala kegiatan di sana, tapi nggak bisa berbuat lebih." Ada nada kecewa dalam kata-kataku.

Ilham menatapku tajam. "Dina yang kukenal pantang putus asa begini. Dina yang kukenal selalu optimis."

Aku tersenyum kecut. "Aku juga ingin melakukan sesuatu untuk mereka."

"Aneh, Din! Selama ini kamu nggak sadar apa yang telah kamu lakukan untuk anak-anak itu? Waktu, perhatian, kasih sayang yang kamu berikan itu adalah sesuatu yang berarti untuk mereka. Itu lebih mereka perlukan dari sekedar materi."

"Tapi mereka akan tumbuh dewasa, perlu pendidikan dan jaminan kesehatan. Itu semua butuh biaya, Ham. Sedangkan ibu Yanti dan Ibu Rima sudah kesulitan mendapatkan bantuan dari Dinas Sosial," kataku ngotot.

"Aku tau itu."

"Aku nggak boleh hanya diam saja. Kalau hal ini dibiarkan, lama-lama panti asuhan itu bisa tutup. Dan anak-anak....." aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku. Aku tak mau anak-anak itu tercerai-berai, terpisah di panti asuhan satu dengan panti asuhan lain.

"Din, aku juga nggak mau itu terjadi. Kamu harus yakin kalau kita bisa melakukan sesuatu demi mereka. Kenapa nggak pernah terpikir untuk memperkenalkan panti asuhan itu pada teman-teman di kampus, seperti yang dulu pernah kamu lakukan padaku?"

Aku tersentak. Ilham benar. Kenapa hal itu tak pernah terlintas di pikiranku? Aku baru menyadari ternyata Ilham lebih cerdas dari dugaanku.

"Gimana kalau kuusahakan lewat majalah kampus? Siapa tau bisa diliput," kataku bersemangat.

"Ide bagus, Din!"

"Ok, nanti aku akan bawa Erwin datang kepanti untuk melihat-lihat dulu."

Wajah Ilham langsung berubah. Aku kaget saat menyadari perkataanku.

"Sorry, Ham... Kamu keberatan ya kalau aku melibatkan dia?"

Ilham menggeleng. "Erwin kan pengurus redaksi, lagipula ini kepentingan panti, nggak ada hubungannya dengan urusan pribadiku."

ILHAMWhere stories live. Discover now