Alvano menatap tangannya sendiri. Wajah El yang pucat, kembali terbayang di kepalanya. Ia mendesah pelan, lalu beranjak dan pergi ke toilet dengan langkah lunglai.

Vano segera menghidupkan keran di wastafel dan menggosok kedua tangannya agar darah kering yang menempel hilang. Ia melirik bayangannya sendiri di kaca di depannya. Kedua mata Vano masih terlihat sembap. Sangat tidak cocok pada wajah tegasnya.

Ia menggosok pelan darah yang menempel pada pipinya, karena Vano sempat mengusap pipinya tadi. Darah yang terselip di kuku jari, sedikit susah untuk dibersihkan. Menyerah, ia lebih memilih untuk membasuh seluruh wajahnya dan mematikan keran air, lalu keluar.

Beberapa perawat yang melewatinya, bertanya dengan khawatir, karena melihat darah dibajunya. Vano hanya membalas seadanya sambil tersenyum tipis. Rumah sakit ini adalah tempatnya bermain sedari kecil. Jadi, tak heran kalau banyak perawat atau Dokter yang mengenalinya. Lagi pula, bangunan besar ini milik keluarganya. Semua yang bekerja di sini pun tau, bahwa Alvano adalah orang yang suatu saat nanti memegang kendali atas rumah sakit ini.

Vano kembali mendudukkan dirinya di samping Bara.

Seluruh keluarganya juga bekerja dibidang kesehatan. Ayahnya adalah Dokter Spesialis Saraf, sama seperti Kakeknya yang sudah meninggal. Ibunya, Apoteker. Omnya-Ayah Bara-adalah Dokter Umum. Tantenya-Ibu Bara-perawat. Neneknya dulu adalah Psikiater, sayangnya sudah meninggal juga menyusul Kakeknya. Cita-cita Vano adalah menjadi Dokter jantung. Adiknya ingin menjadi Ahli Gizi. Dan Bara, ingin menjadi Radiografer.

Terdengar gila, huh?

Vano mulai memejamkan kedua matanya. Lelah. Kepalanya sakit. Lalu, tanpa sadar, ia jatuh tertidur.

Vano tidak tau berapa lama ia tertidur di sana. Dia tersentak bangun saat Bara mengguncang bahunya.

"Operasi El udah selesai," ujar Bara. Membuat Vano sontak langsung berdiri, dan mengusap wajahnya pelan.

Beberapa perawat yang membantu jalannya operasi itu keluar. Dahi Vano mengerut saat melihat seorang Dokter Orthopedi yang ia asumsikan untuk mengurus fraktur terbuka di kaki kiri El, dan... Dokter Bedah?

Vano langsung menghampiri Ayahnya.

"Jadi, El gimana?" tanya Vano langsung.

Ayah menghela napas, "koma."

Vano berdecak dan mengacak rambutnya kasar, "terus? Ada yang parah?"

Sang Ayah mengalihkan tatapannya, "kamu pulang dulu, gih. Mandi, ganti baju. Pulang ke rumah, jangan ke tempat El."

Vano menghela napas, "El dipindahin ke kamar mana? Vano mau liat dulu, baru pulang."

Ayahnya menatapnya dalam diam, "....nanti aja."

Dahi Vano sontak berkerut, "kenapa?"

"Kamu tuh kotor. Banyak kumannya. Ayah ngga bakal ngijinin kamu masuk. Pulang dulu makanya."

"Tsk! Sebentar aja. Ngeliatnya dari luar deh, dari luar."

Vano hanya ingin melihat El yang masih bernapas dengan kedua matanya secara langsung. Setelah melihat kejadian terjun menerjun tadi, otaknya masih memerlukan bukti bahwa Elnya baik-baik saja.

Ayah menghela napas. Lalu, memberi isyarat untuk mengikutinya. Bara segera menyejajarkan langkahnya dengan Vano.

"Kalo misalnya, El bangun dari koma, terus dia amnesia gimana? Kan benturan di kepalanya lumayan tuh. Dari lantai tiga," ujar Bara.

Vano hanya melirik, "bagus kalo dia amnesia. Jadi, dia ngga perlu ngeinget masa lalunya lagi. Kalo dia ngga inget gue, kita tinggal kenalan, terus mulai dari awal."

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now