O1. Straight

621 45 0
                                    

"Louis, ke ruangan saya. Sekarang."

Lou yang sedang menatap layar laptop-nya dengan serius langsung menegakkan badannya ketika suara berat bos-nya terdengar dari interkomnya. Tanpa pikir panjang, ia segera memakai kembali heels-nya yang sejak tadi tergeletak di bawah mejanya dan berjalan cepat menuju ruangan milik bos-nya.

Lou memastikan ia sudah mengetuk sebanyak tiga kali sebelum akhirnya membuka pintu lebar berbahan kayu mahogani di depannya. Matanya langsung disambut dengan punggung lebar sandar-able yang jelas saja merupakan salah satu fitur favorit Lou dari bosnya.

Lou menelan ludahnya dan mengalihkan pikirannya dari apapun yang dia pikirkan barusan. "Sir?" katanya cukup lantang, berusaha memberitahukan bahwa dia berada di ruangan itu.

Bosnya segera berbalik badan dan menatap Lou tepat di matanya. Oh astaga, fitur lain yang Lou sukai selain punggung pria itu. Mata coklat yang siap membuat semua orang tenggelam di sana.

"Louis," kata pria itu sembari berjalan menuju kursi kebesarannya dan duduk dengan nyaman di sana. Ia kemudian mengarahkan dagunya ke kursi di depannya, memberikan gesture kepada Lou untuk duduk di sana. Lou, yang untungnya tanggap, langsung mendekat dan duduk di kursi yang dimaksud.

"Mama saya baru saja menelepon, lagi."

Lou menaikkan dua alisnya. Uh-oh, dia tau kemana jalannya pembicaraan ini. Ini adalah keempat kalinya, di sepanjang karirnya bekerja di perusahaan ini, sejak Lou mendengar pembicaraan yang diawali dengan kata-kata itu, dan akhirnya selalu sama.

"So, we're going for another date, Sir?" tanya Lou terus terang.

Suara tawa yang mampu membuat setiap perempuan jatuh hati tertangkap di telinga Lou. Ia kemudian melihat bosnya yang kini tersenyum lebar. Bisa dibilang, Lou merupakan salah satu dari sekian orang yang beruntung yang bisa melihat sisi ini dari bosnya. Pria di depannya itu bukanlah orang yang terkenal ramah.

"Dinner, di Ritz, besok. Bisa kan?" kata bos-nya kemudian.

Lou mengangguk sebagai jawaban. Sebenarnya, walaupun dia sudah ada janji untuk besok, Sean tidak akan menerima tidak sebagai jawaban. Dia pasti akan menyuruh Lou untuk membatalkan janjinya dan memilih pergi bersamanya.

Jika orang lain mendengar percakapan mereka saat ini, jelas mereka akan salah paham dan mengira bahwa bosnya itu benar-benar tertarik kepada Lou dan mengajaknya berkencan. Tapi kenyataannya adalah Lou berkencan dengan bosnya untuk mengusir secara halus perempuan-perempuan yang dikirim oleh mama dari bosnya itu.

"Kalau boleh tau, sekarang siapa Sir?"

"Carmen Zurita, putri duta besar Meksiko untuk Indonesia."

Lou membulatkan matanya kemudian tertawa takjub karena mengingat perempuan yang dimaksud. "Wow, the one we met in Singapore?" tanyanya sedikit histeris.

"Yup, perkiraan kamu waktu itu benar."

Lou masih ingat ketika bulan lalu ia menemani bos-nya ke Singapura untuk mengunjungi salah satu cabang perusahaannya di sana. Tanpa sengaja, mereka bertemu di bandara dengan Aleesha Koenraad, mama dari bosnya, dengan yang seorang perempuan latin yang luar biasa cantik.

Dan Lou masih ingat ketika dia bercanda dan mengatakan kepada bosnya bahwa sebentar lagi dia akan dipaksa untuk berkencan dengan perempuan itu. Mengingat betapa khawatirnya Mrs. Koenraad kepada anak laki-lakinya yang selama ini tidak pernah terlihat bersama wanita manapun, bukanlah hal yang susah untuk memprediksikan hal itu.

"Rupanya waktu itu kita ketemu dengan Mama saya bukan karena tidak sengaja."

Lou menaikkan alisnya. Ketika dia hendak bertanya kenapa, bos-nya lebih dulu menjelaskan kepadanya.

When Stars CollideWhere stories live. Discover now