• [ 1 ] •

32 2 2
                                    

Mahasiswi tingkat empat. Setahun lagi target gue harus tercapai. Skripsi. Sekarang biarkan gue menikmati indahnya drama korea versi Indonesia.

Gue hidup di sini, di ibukota negara gue. Konon katanya, ibukota lebih baik dari ibu jari para netijen negeri ini. Gue bukan asli sini, gue asli dari kota sebelah--Bandung. Meski jaraknya cuma dekat, gue sama Biru mendapat mandat dari Ayahanda untuk mengontrak sebuah rumah satu lantai dekat kampus. Rumahnya sederhana, cukup buat tinggal berdua sama Biru. Kampus gue ya oke-oke saja masalah prestasi. Harganya juga oke-oke saja, cocok untuk anak perantauan seperti gue. Semuanya oke-oke saja, yang nggak oke diri gue sendiri. Rumit.

Gue anak kedua sekaligus anak terakhir dari Ayahanda dan Ibundahara. Ayahanda gue terlalu sayang sama gue, sampai-sampai gue diperbolehkan keluar dari istananya. Sewaktu Ayahanda menendang gue dari istananya, gue cuma bisa nge-drama-queen, meminta Ayahanda agar gue dikuliahin di Bandung saja. Jujur, gue nggak mau bangedh pake de plus ha, pisah sama ortu gue. Gue yang baru saja delapan belas tahun,  di mana tahun lalu gue udah dapet surat LEGAL--KTP, dibuang begitu saja ke kota tetangga. Gue sudah memohon-mohon, membujuk-bujuk Ayahanda, tapi tetap saja nasib baik berbuah ke Ayahanda. Keputusan Ayahanda sudah tidak bisa diganggu gugat. Gue cuma bisa apa? Duit aja masih minta. Katanya itu yang terbaik buat tuan putri satu-satunya. Sebenarnya gue oke-oke saja sama jurusan gue, akuntansi. Tapi yang nggak oke itu, gue harus pindah istana dan melepaskan kemanjaan gue ke Ibundahara.

Di sinilah gue. Terpekur di depan laptop bersama kripik kentang dari tetangga yang barusan hajatan. Memandangi angka-angka huruf-huruf yang membuat gue pusing tujuh puluh keliling lingkaran sepak bola basket. Tega sekali Bapak Mirza Your Majesty, nggak tanggung-tanggung ngasih tugas. Hari ini ngasih-minggu depan presentasi. Dan itu diacak. Gue berniat bolos saja, tapi kesempatan gue udah habis.

"Biru... Biru... Dimanakah kau sayang?" nggak ada sahutan dari Biru. Kupingnya tuli baru tahu rasa.
Biru itu abang gue. Selisih dua tahun di atas gue. Gue malas aja manggil dia dengan embel-embel "Bang". Gue manggil Biru pake Bang ya cuma di hadapan keluarga kerajaan Wirya saja. Selain itu, jangan harap. Hanggasetyaji Banyuwirya, namanya yang tertulis di akta kelahiran. Beda banget kan? Iya, memang. Gue dan teman-teman somplak gue sepakat mengganti nama panggilan buat kita sejak SD. Biar gahoooool katanya.

"Apaan sih, ganggu siang gue sama Mawar aja lo." jawabnya sambil meneguk air mineral di nakas.

"Bantuin gue ngerjain makalah ini atau kalau nggak lo beliin nasi Padang di warung tenda sebelah. Gue lapar. Lo juga pastinya."

"Ogah." jawab Biru lalu melengos begitu saja.

Gue mendengus. Keki banget gue punya abang kaya dia. Betah juga gue tinggal sama dia hampir dua tahun belakangan ini. Yah, setidaknya Biru masih bisa diandalkan perihal antar-jemput gue. Gue belum dibolehin nyetir sendiri sama Ayahanda. Gue tetap prioritas pertama dalam hal antar-jemput. Kasihan, pacarnya menjadi prioritas ke sebelasan. Bodo. Gue agak nggak suka sama pacarnya Biru yang sekarang. Mawar namanya. Pasaran sekali batinku menyeruak. Labil, childish, manja, jangan harap dia bisa menginjakkan kakinya ke rumah Aisha.

"Iya sayang, iya." Suara Biru dari ujung ruangan ini. Baru saja gue bicarakan, panjang umur dah dia.

Biru, satu-satunya kakak-saudara-big bro gue, sejak dua puluh satu tahun yang lalu. Dia di atas gue satu tahun. Katanya sibuk skripsi, tapi mata gue nggak nemuin mana itu proposal, mana itu bab 1 yang harusnya sudah Biru buat. Seperti sekarang ini, Biru malah menjadi budak cinta ala-ala korea Indo. Mawar, pacarnya yang entah barisan ke berapa meneleponnya lagi. Padahal lima belas menit yang lalu barusan nelpon Biru. Gue jengah ngliat cara mereka berpacaran.

"Sha, lo punya pembalut nggak?" tanyanya yang gue jawab hanya dengan gelengan. "Satu pun gak ada?"

"Nggak ada Biru sayang. Tuh liat, kemasannya ada di bak kamar mandi." jawab gue yang sudah terlanjur bad mood gara-gara Biru ditambah lagi mendengar suara Mawar.

"Mau buat apaan sih Bir?" kataku yang langsung mendapat pelototan darinya.

"Itu buat si Mawar kesayanganku. Katanya dia nyari di kamarnya nggak ketemu."

"Palingan juga masuk kloset."

"Sha, Beliin Sana, Dua bungkus. Satu buat kamu, satu buat Mawar."

"Harus banget ya? Males gue Bir--ru. Kalo lo mau ngerjain makalah penelitian gue, baru gue mau Beliin." jawab gue seadanya juga kaya slogan warung tenda sebelah.

Mata gue setia memandangi laptop buluk gue. Mencurahkan seluruh isi hati seorang Shanazya Fadjrinatha. Itu nama asli gue. Bukan Sha, Aisha yang barusan Biru panggil ke gue.

"Ok, itu mah gampang Ratuku, Your Majesty. Patihmu ini akan segera mengerjakan titah sang Ratu." Kata Biru kemudian mengambil alih singgasana gue. Yang mau tak mau gue menuruti win win solutionnya.

Lalu gue menyambar jaket yang ada di punggung kursi. Menikmati teriknya ibukota bukanlah ide yang buruk. Kapan lagi gue bisa menghirup udara segar? Gue jadi teringat Bandung. Kangen kan gue sama Ibundahara, Ayahanda, Bi Sum, dan Snake--kucing gue yang baru berumur tiga bulan.

||||||||||||||||||||||||||||||||

• J/N •
Seadanya aja biar kaya warung tenda.

Regards,
J-nya Mingyu 💃

\\ 26.04.2018 \\

COSMICTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang