Time is not Ticking (Part 1)

73 5 4
                                    

          Kendati dikatakan bahwa dunia ini mengandung miliaran warna, sejatinya hati manusia hanya memilikki dua. Hitam dan putih. Gelap dan terang. Walaupun buruk dan baik masih menjadi topik terhangat dalam tajuk relativitas.

           Pemuda bernama Daniel tersebut memaku dirinya di balik keremangan London. Berdiri di satu sudut sepi yang terselip dalam kehidupan. Membungkam suaranya dalam diam. Malam itu ia gagal memahami, warna apa yang selayaknya mendominasi hatinya. Hitam kah? Putih kah? Atau abu-abu?

         Ia tak tahu. Di usianya yang ke-25, tak pernah sebersit pun ia mengira hal ini akan terjadi. Saat dimana ia harus memutuskan, pada siapa kematian itu harus berkunjung malam ini.

           Apakah dirinya?

           Apakah gadis bernama Nicola itu?

           Ataukah kepada mereka berdua?

      Sungguh bukan pilihan yang menguntungkan. Ia bisa saja membunuh Nicola dan membiarkan dirinya mengecap kehidupan lebih lama. Atau, ia bisa terus berdiam di sini tanpa melakukan apapun-seperti sekarang-lalu membiarkan orang-orang itu mencincangnya esok pagi. Dengan demikian, ia akan mati tanpa mengotori tangannya dengan darah.

         Tetapi, apakah bunuh membunuh itu perihal yang ringan? Atas dasar apa ia harus mengukur harga hidup seseorang? Daniel tak bermaksud sok suci. Ia memang bukan seorang yang baik, yang lantas patut dianugerahi peran protagonis dalam sebuah cerita. Ia hanya tak mau terseret ke lembah hitam yang lebih dalam.

           

         Sehembus bayu musim gugur menerpa tubuh jangkung pemuda itu, mencumbu lembut kulitnya yang tersembunyi di balik perpaduan coat Armani coklat tua, kemeja hitam, dan jeans belel. Tangannya berlindung dalam masing-masing kantong. Kepalanya menengadah. Sepasang manik safir itu menguasai lingkaran raksasa berhias dua belas angka romawi di puncak menara. Big Ben begitu kokoh berdiri. Kedua tangkai jarumnya berdetak-detak, melahap sedikit demi sedikit waktu yang tersisa. Mendesak Daniel untuk segera membuat keputusan.

            Ia memejamkan mata, lalu menghembuskan nafas keras-keras.

            Kisah runyam ini dimulai dua bulan lalu, ketika ia tanpa sengaja mengenal seorang gadis jelita di sebuah pub di Richmond. Namanya Nicola. Nicola Hanley lebih tepatnya. Gadis itu bak seekor angsa cantik di antara kawanan buaya. Mempesona sekaligus menggoda. Kulitnya seputih pualam, bibirnya semerah cherry, dengan rambut brunnette yang dibiarkan tergerai menutupi punggung. Figur rampingnya melenggang di antara kerumunan sementara sepasang mata hazelnya menelusuri setiap jengkal tempat itu. Agaknya, ia baru pertama kali bertandang ke sana, pikir Daniel.

            "Baru pertama kali ke sini?", begitulah pemuda itu mencoba membuka konversasi ketika Nicola duduk di sampingnya, berjajar di depan meja bar. Gadis itu menyunggingkan senyum tipis, dan kalau Daniel tak salah lihat, pipinya merona semakin merah. Sungguh gelagat yang jarang ia temukan pada gadis-gadis di sekelilingnya.

            "Kenapa kau berpikir begitu?", tanya Nicola lembut.

            "Karena aku baru pertama kali melihatmu di sini".

         Nicola memesan segelas cocktail kepada bartender sebelum menoleh lagi pada Daniel. "Aku baru tiba dari Glasgow tadi siang", ucapnya.

     Daniel mengangguk. "Kalau begitu, boleh kutemani minum?". Ia mengangkat gelas burgundynya sebagai tanda, dan Nicola mengangguk.

            "Tentu".

Time is not TickingOn viuen les histories. Descobreix ara