Time is not Ticking (part 2)

94 2 2
                                    

Daniel menggeber Rolls Roycenya. Sementara sebelah tangan berada di kemudi, sebelah yang lain memasang earphone ke telinga. Nada tunggu berdengung dari telephone selama beberapa saat sebelum akhirnya suara Jesse menyeruak.

            “What’s up?”.

            “Dimana rumah sakit tempat Nicola dirawat?”. Daniel tak mengalihkan pandangan dari jalanan di depan.

            “Jadi akhirnya kau mau membunuhnya?”, Jesse tergelak ringan di ujung sana, puas, seperti tiran yang hendak mengeksekusi tahanannya.

            “Diam dan beri tahu saja tempatnya, brengsek!”.

            “St. Mary nomor 306. Pastikan kau membunuh tanpa jejak”.

            Klik. Daniel menutup telepon dan membuang headsetnya. Kakinya menginjak gas lebih dalam, mempercepat laju mobilnya hingga 100 km/jam menuju St. Mary.

            Rumah sakit itu nampak cukup lengang dari depan kendati beberapa suster dan dokter di dalamnya masih berseliweran. Daniel masuk mengenakan masker, berjaga-jaga seandainya ada polisi yang memergokinya. Ia naik lift menuju ke lantai tiga. Beruntung, tak ada suster-suster yang berseliweran di lorong sana. Lantai itu lebih sepi daripada lantai bawah.

            Daniel melangkah hati-hati, menjaga agar sol loafer sepatunya tak mengetuk lantai terlalu keras.  Matanya menelusuri nomor-nomor yang tersemat di daun pintu. 301. 302. 303. 304. 305. 306. Daniel berhenti.

            Lampu ruangan itu menyala, tetapi tak ada suara dari dalam sana. Ia mengintip melalui kaca pintu. Seorang gadis terbaring lemah di ranjang dengan masker oksigen menangkupi mulut dan perban berbercak merah kecoklatan membalut dahi serta rahangnya. Rambut brunnettenya terurai menutupi bantal serta sebagian bahu. Sebuah mesin kardiogram yang bertengger di sisi ranjang menunjukkan gelombang lemah. Sepertinya benturan kemarin membuat Nicola hampir meregang.

            Daniel memastikan bahwa sekelilingnya cukup aman sebelum ia memutar kenop pintu dan membiarkan bau obat-obatan menyengat penciumannya. Ia menghampiri Nicola. Gadis itu nampak terlelap dalam damai, begitu menawan.

            “Nicola, maafkan aku...”, tangan Daniel membelai puncak kepala Nicola. “Ini karena kau telah mengkhianatiku. Maaf...”.

            Dan ia pun melepas masker oksigen yang menangkupi mulut Nicola, lalu mencabut selang darah yang menancap pada tubuh gadis itu. Cairan merah sontak muncrat, berjebai di lantai yang dingin-dingin. Bau obat-obatan bercampur bau anyir. Nicola tak bereaksi. Hanya Daniel yang seketika terlonjak mundur. Terkejut. Merasa ngeri dengan apa yang baru saja diperbuatnya. Ia buru-buru mendobrak pintu dan kabur keluar.

            Nafasnya terengah-engah ketika ia berhasil mencapai lift. Ditekannya berkali-kali tombol di sisi pintu. Panik. Rasanya seseorang bisa sewaktu-waktu memergoki dan menangkapnya di tempat itu. Daniel kalang kabut

            Begitu pintu lift terbuka, pemuda itu langsung menyeruak masuk. Selama ia sendirian di sana, Daniel mencoba mengatur nafasnya kembali senormal mungkin. Tiga. Dua. Satu. Pintu itu kembali terbuka dan koridor lantai satu yang ramai menyambutnya.

            Daniel mencoba berjalan normal kendati kakinya terasa kaku dan keinginan untuk berlari terus mendesak. Melewati meja resepsionis di dekat pintu keluar, matanya sekonyong-konyong terperangkap pada figur yang berdiri di sana. Seorang wanita bertubuh semampai dengan balutan celana hitam dan coat magenta. Rambutnya yang berwarna brunnette dikuncir di belakang.

Time is not TickingWhere stories live. Discover now