Alvano mengangguk, "udah. Dia masih bernapas."

'Cek saluran pernapasannya!'

Vano memutuskan untuk meloudspeaker telpon itu, dan meletakkannya di tanah. Merasa bodoh, karena seharusnya, ia mengecek saluran pernapasannya dulu tadi. Vano segera membuka mulut El dengan dua jari. Melihat apakah ada benda yang berpotensi menyumbat saluran pernapasannya. Namun, tidak ada. Setelah itu, ia memeriksa apakah El mengalami patah tulang leher atau tidak, dan Vano semakin panik.

"Ayah.. uhh.. Ayah.. lehernya.. hiks.. lehernya patah.. ugh.."

Patah pada leher semakin menaikkan resiko kematian.

Vano mengusap air matanya. Tak peduli bahwa tangannya sudah terkena darah El.

'Vano, Vano, tenang.. lancarkan pernapasannya dulu. Lakuin jaw thrust.'

"Tapi, Vano ngga pernah! Nanti salah!"

'Jangan mikir salahnya dulu! Kamu mau selamatin dia atau enggak?! Itu pertolongan pertama, Vano! Kalo dia ngga bisa napas, semuanya selesai!'

Ayahnya menambah tekanan. Tapi, apa yang ia katakan memang benar.

Vano berusaha sekuat mungkin untuk bernapas normal. Dia harus mengingat bagaimana cara melakukan jaw thrust. Posisinya ia ubah, di depan kepala El. Lalu, dengan perlahan, ia mendorong sudut rahang kiri dan kanannya ke arah depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan gigi atas.

Tarikan napas terdengar.

Tetesan air mata Vano terjatuh mengenai pipi El.

"Gue mohon, jangan tinggalin gue," bisik Vano pelan.

"Mana ambulansnya?! Kenapa lama?!" seru Vano.

'Bentar lagi kami sampai. Cek kesadarannya.'

"Ngga mungkin sadar!"

'Cek, Alvano!!'

Vano melepas dengan pelan kedua tangannya.

"El? El, lo denger gue?" tanyanya. Ia mengamati tubuh El dengan teliti. Yang mana, malah membuat air matanya menderas saat melihat kaki kiri El yang mengalami fraktur terbuka, dan tangan kanannya yang lebih parah. Vano mengalihkan tatapannya dari tangan kanan itu. Ia rasa, tangan kanan itu jatuh terlebih dahulu tadi. Setelah itu, ia mencubit lengan kiri El. Dilanjut dengan menekan dadanya.

"Ngga ada respon!" serunya.

'Suhu tubuh?'

"Turun!"

'Panggil dia terus. Pancing kesadarannya! Kami bentar lagi sampai di halaman gedung.'

Vano menggenggam tangan kiri yang mendingin itu. Ia mengusap kepalanya pelan.

"El.. lo harus bertahan. Bentar lagi mereka sampai. Lo harus hidup. Lo ngga boleh ninggalin gue."

Bajunya mulai memerah karena darah El. Wajah pemuda berambut cokelat itu semakin memucat.

Vano memejamkam kedua matanya erat. Dahinya ia tempelkan di dahi El.

"Kenapa lo lakuin ini? Gue bakalan tetep mencintai lo, apapun yang terjadi. Lo ngga boleh ninggalin gue gitu aja."

Vano mengusap air matanya. Lalu, dari kejauhan, suara ambulans terdengar. Ia mendongak. Benar-benar tak sabar. Tak lama kemudian, Orang-orang dari rumah sakit itu datang, dan menghampirinya.

Sang Ayah yang ternyata ikut, sontak menarik Alvano menjauh. Memberi ruang agar orang-orangnya bisa melakukan pertolongan pada tubuh kurus mengenaskan itu.

Happiness [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang