5 | That Night

16.6K 469 76
                                    

[Flashback]

Harry's POV

Aku tidak tahu jika Harvey bisa membiarkan istrinya berpesta hingga pukul 1 pagi. Aku yang mulai merasa jengah, akhirnya meraih kunci motor dan melesat ke suatu tempat. Suki sialan! Zayn sialan! Aku terus mengutuk kedua orang itu sambil memperdalam tarikan gas. Jika mereka hendak menikah, mengapa perlu mengadakan acara tolol seperti pelepasan masa lajang?! Di akhir Angel hanya menyulitkanku akibat ide tidak bergunanya Suki.

Aku memarkirkan motorku asal setelah tiba di tujuan. Mobil-mobil berjejer serta dentuman musik keras langsung mengusikku. Aku tidak bisa menghindari kakiku untuk tidak berlari saat memasuki rumah Suki. Tak biasanya kutu butu seperti Angel menyukai kebisingin. Semenjak kuliah ia hidup di zona membosankan. Yang Angel tahu hanyalah belajar dan bekerja, tanpa memedulikan ajakan kencan, pria, dan pesta. Jadi hal yang dirinya perbuat malam ini tentang 'pesta' cukup mengejutkanku.

"Apa yang kau lakukan?!" Angel menjerit begitu aku menggagalkannya minum alkohol. Nafasnya memburu, seiring dadanya mencuat dari dress hitam itu seolah meminta agar ku jamah. Fuck! Bagaimana bisa Harvey membiarkan Angel memakai pakaian murahan ini?! Sekalipun ini pesta pelepasan lajang yang dihadiri para wanita, tapi tetap saja ia bisa mati kedinginan. "Pergi! Aku benci melihat wajahmu!"

Teriakan frustasi Angel membuatku geram, serta menjadikan fokus pesta teralihkan pada kami. Bisakah perempuan ini mempermudahku yang ingin menolongnya? Maka aku menarik tangan Angel, lalu menggendongnya paksa.

"Harry!" Brengsek, itu suara Suki! Lengkingan itu sama persis ketika dulu aku mengerjai Angel. Si jalang itu selalu menentangku, padahal dirinya tidak tahu alasan aku gemar mengusik Angel. Tidak semua tindakan menunjukan maksud yang sesungguhnya. "Kau akan bawa dia ke mana? Harry! You're bastard!"

Persetan dengan makiannya. Aku terus membawa Angel ke luar, dan mendudukkannya di atas jok motor. Angel yang semula meronta histeris, kini hanya bisa diam dengan tatapan kosong. Selama beberapa detik aku terpukau memerhatikan dirinya yang tenggelam dalam jaket kulitku. Dia tak lebih dari gadis biasa, ku akui itu, tapi entah mengapa aku selalu berakhir menginginkannya. Menyentuhnya. Melihatnya. Tiba-tiba saja ia membawa tanganku ke area perutnya, seperti memintaku melakukan sesuatu.

"Mengapa kita belum memiliki anak, Harvey?" Jemariku yang sedang mengelus perutnya terhenti, dan ada rasa panas yang membakar diriku. Cemburu merasukiku sangat cepat. "Ini sudah 2 tahun lebih. Aku ingin ada malaikat kecil di antara kita. Apakah Tuhan belum mempercayaiku sebagai... ibu?"

Aku bungkam. Ku kira Angel sengaja menunda kehamilan demi karirnya sebagai penulis, namun ternyata tidak demikian. Maka dari itu aku menyentuh kedua sisi wajahnya sebelum bibir kami bertemu. Ia balas menciumku penuh hasrat, dan aku teramat menyukai sisi lainnya ini. Beginikah perasaan diinginkan oleh seorang malaikat?

"Kita pulang sekarang." Kataku, menyudahi ciuman kami. Sejujurnya aku bisa menggaulinya di sini, di atas motorku. Di depan umum serta di bawah langit malam. Tapi kondisi Angel sedang tidak memungkinkan. Membuatnya mati kedinginan juga bukanlah ide yang bagus. Jadi aku segera memakaikannya helm.

Ku pacu motor sekitar 80 km per jam. Terhitung cepat mengingat jalanan di mana-mana lengang. Aku nyaris kehilangan keseimbangan begitu tangan mungil Angel memelukku. Ini sangat mendebarkan ritme jantung.

Angel pun bergumam suatu lagu, merdu. Pikiranku spontan menyuruhku agar menurunkan kecepatan. Aku ingin menikmati perjalanan ini sedikit lebih lama, dan melupakan Harvey yang ku yakin mulai kesetanan mencari keberadaan Angel. Ku harap Suki tutup mulut mengenai diriku yang membawa pergi sahabatnya. Akan runyam bila Suki membeberkan bagaimana posesifnya tingkahku terhadap ruang gerak Angel.

"I can't help myself. You're the want I want." Angel bersenandung seraya merentangkan satu tangannya ke sisi kanan. "It might be bad right now. But losing you would really suck." Dari kaca spion, mata biru itu terpejam. Tidak berselang lama ia kembali membawa tangannya ke tempat semula, memelukku erat. "And I was just fine if it didn't work, but now that you're mine."

Setibanya di rumah, aku langsung menggendong Angel tanpa berusaha membangunkannya. Dugaanku yang mengatakan jika Harvey mencari keberadaan istrinya terbukti benar. Fakta bahwa aku satu langkah lebih cepat, itu melambungkan perasaanku. Aku mampu memahami Angel dengan baik dibandingkan siapapun.

Setelah membaringkan Angel, aku membuka sepatu hak tinggi miliknya sekaligus membersihkan makeupnya. Inisiatifku mengalir melihat dirinya sangat kacau. Ia tak bisa berhenti tertawa dan bergumam hal konyol. Kendati tubuh Angel terus bergerak, akhirnya aku menaruh kepalanya di pahaku. Lama kelamaan ia patuh sambil sibuk memainkan ujung kausku.

Begitu sadar bahwa aku sudah bertindak terlalu jauh, aku melemparkan tissue sialan itu dengan geram. Aku bertaruh, Harvey tidak pernah melakukan hal ini. Sementara aku? Aku yang hanya pria bajingan di mata Angel, mengapa sampai sudi melakukan perbuatan tolol semacam ini? Bahkan Angel masih mengira bahwa sosok yang membawanya pulang adalah Harvey, bukan aku. Fuck!

Angel menahan lenganku sesaat aku berniat pergi. Sentuhannya bersamaan dengan dirinya bangun, kemudian mata kami terkunci satu sama lain. Semua cepat dari mulai aku menghantamnya keras ke ranjang, hingga ia memutar keadaan menjadi duduk di pangkuanku. Kami berciuman bagai kehilangan kendali. Semua sarafku pun bangkit akan godaan yang ia tawarkan. Aku membutuhkannya. "Aku ingin bercinta denganmu... Harvey."

Nafsu membara yang sempat menguasaiku seketika hilang. Keinginanku untuk menyetubuhinya lenyap dalam hitungan detik. Aku menarik diri dari Angel dengan sedikit mendorongnya. Brengsek! Sadarkan dirimu, Harry! Tidak mungkin kau menyetubuhinya ketika yang ia bayangkan ialah suami keparatnya!

"A---ada apa?" Lirihnya. Ia terlihat terkejut, terlebih mendapati diriku kembali mengenakan pakaian. Bibir bagian bawahnya ia gigit seraya menutupi tubuhnya menggunakan selimut. Mata biru itu terus memperhatikanku bingung. Sialan. Jika tahu begini, lebih baik aku tidak menjemputnya, karena Harvey sudah pasti dapat menangani ini. Tanpaku, Angel akan baik-baik saja. Aku hanya mempersulit diri, dan membuat posisiku kian terlihat konyol. "Apa kau sudah bosan denganku? Apa aku sudah tidak menarik lagi bagimu?"

Merasa diacuhkan, ia mulai melempariku menggunakan barang-barang di sekitarnya. Tangisannya berhasil meredam emosiku. Tanpa pikir panjang, aku mencengkram lengannya. Aku tidak tahu responku telah menyakitinya atau tidak, yang jelas aku perlu mengendalikan efek mabuknya. Aku tidak mau ia sampai melukai dirinya sendiri.

"Aku benci kau." Rintih Angel ketika aku memeluknya. Sisa tenaganya yang tak seberapa ia kerahkan guna memukulku, selebihnya ia memberikan pembiaran. Semakin lama tangisannya semakin surut, dan di saat itu ia melepaskan diri dariku untuk naik ke ranjang. Aku mengikuti geraknya. Ku bawa punggung telanjangnya menemui dadaku, mendekapnya dari belakang. Deru nafas Angel perlahan mulai teratur. Tanda tak lama lagi ia akan tertidur. "Aku mencintaimu." Ucap Angel tiba-tiba.

Enggan membahas hal yang hanya akan membuat amarahku tersulut, akhirnya aku menarik selimut hingga sebatas pundaknya tanpa bicara. Pasti kalimat itu ditujukan pada Harvey. Kini Angel berbalik. Wajah kami bertemu lekat. Lantas keheningan berlanjut panjang tepat setelah Angel memejamkan mata, dan berkata;

"Aku mencintaimu, Harry. Selamat malam."

------

A/N:

Di chapter 3 Angel bangun dalam keadaan mabuk, dan inilah yang terjadi di malam sebelumnya.

In Law // DREAMEOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz