Yuki

313 95 50
                                    

Siluet kenangan sengaja ia putar kembali dalam otaknya. Mengingat semua hal yang pernah ia alami dimasa lalu. Mengenang semua suka duka kehidupannya bersama sang terkasih.

Ia, terduduk sendiri di atas bangku kayu panjang yang dingin. Tepat di bawah kokohnya Mapple yang menjulang di belakangnya. Beribu butiran putih dari langit itu tak henti menuruni udara sore ini. Kelam langit seolah telah berkompromi dengan ia yang tengah muram saat ini.

Diam, ia hanya terdiam disana. Pandangan maniknya tak mampu menyiratkan kilaunya. Sepasang manik itu telah redup. Paras ayunya pun kini telah termakan muram. Bibir mungilnya tak lagi bisa menyungging senyum. Tak lagi bisa melengkungkan keindahan miliknya.

Ia..

Kesepian..

"Apa kau ingat, Hyun? Syal putih ini pemberianmu setahun lalu. Tepat ditanggal dan bulan yang sama dengan hari ini. Juga suasana ini.."

Ia menggumam. Seolah kini ia tengah berbicara pada orang yang bernama Woohyun itu. Tangan mulus berbalut sarung tangan itu meraba pelan syal yang tengah menggulung di lehernya. Memaksakan bibir itu melepas senyum seolah ia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan orang terkasihnya.

Ia menarik tangannya. Memangkunya kembali di atas pahanya yang telah terbalut celana panjang.

"Kau memberikannya padaku karena kau tak ingin aku sakit, bukan? Aku tidak akan sakit, yakinlah."

Kembali. Ia melepas senyum palsunya. Binar sepasang maniknya kini mulai memerah. Ia menghela nafas panjang. Mengerjapkan mata indah tanpa kilau itu dengan perlahan. Tak ingin bulir bening dari sana akan tumpah tanpa komandonya. Ia kuat. Setidaknya itulah keyakinannya kini.

"Kita sering ketempat ini, kan? Tepat di bangku ini kita sering menghabiskan waktu bersama. Kau ingat?"

Lagi-lagi pertanyaanya menggantung. Tak ada yang menjawabnya. Entahlah. Sepertinya ia memang sengaja melepas seluruh pertanyaannya pada udara dingin disana. Berharap 'mungkin' pertanyaannya bisa didengar yang terkasihnya dijauh sana.

"Kita selalu mendengarkan musik dari satu i-pod, apa kau masih ingat?"

Ia menolehkan kepalanya kesamping. Telapak kanan yang telah terbungkus rapi oleh sarung tangan itu kini mengusap bangku sampingnya yang mulai tertutup butiran putih salju. Pelan. Ia menyingkirkan semua butiran itu tanpa sisa. Menerawang kembali kenangan suka saat 'mereka' bersama dulu. Tersenyum samar meski jelas sekali itu sebuah paksaan.

"Berapa kali kita berciuman ditempat ini? Kau tidak tahu kan? Bahkan aku mengitungnya dan itu sangat banyak. Kau sangat tidak sabar, apa kau tahu itu?"

Kini ia sedikit terkikik. Mata itu menyipit. Menatap dalam bekas tempat duduk sang terkasih.

Tes

Bulir bening itu mencuri paksa kesempatannya untuk keluar. Mencuri paksa ketegaran sang empu yang telah dengan susah payah membangunnya. Ia runtuh. Benteng pertahanannya mulai runtuh.

Tidak! Ia tak ingin seperti ini! Ia kuat, sampai kapanpun!

Lagi. Ia mencoba membangun kembali pertahanannya untuk berdiri tegap dalam ketegarannya. Ia bukanlah orang yang menyedihkan. Ia bukanlah orang yang payah. Dan ia bukanlah orang yang mudah menyerah.

Ia kuat. Kuat untuk bertahan dalam derita jiwanya.Tapi sampai kapan?Mampukah ia selamanya dalam keadaan yang menyiksa ini?Ya, ia mampu. Ia tekadkan jiwanya, berjanji dalam relung hatinya, ia akan bertahan. . .  Sampai akhir.

"Dingin.. Sama seperti saat itu,"

Ia bergumam pelan kembali. Memposisikan tubuhnya seperti semula. Mata redup itu menerawang dalam kearah langit muram diatasnya. Mengerjap pelan. Air matanya telah mengering. Meninggalkan bekas samar yang panjang di pipi putih mulusnya.

Coretan Cerita Cinta WoogyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang