Prolog

154 15 10
                                    

Sequitur Pluviam means Followed by Rain in Latin


"Aku tak mengerti mengapa hujan turun tak menentu seperti ini. Padahal, saat aku berangkat tadi langit masih cerah, tapi tiba-tiba hujan turun saat aku hampir sampai di sekolah. Gaaaah! Menyebalkan!" Pemuda dengan rambut salmon menggerutu sebal, mulutnya terbuka lebar sehingga terlihat deretan giginya yang cukup runcing bagi manusia biasa.

"Makanya! Aku sudah mengingatkanmu untuk membawa payung setiap hari, Natsu!" Gadis berambut pirang yang tengah bernaung di bawah payung yang sama dengan Natsu menggerutu pelan. Sebelah tangannya memegang erat gagang payung.

"Hujan dan pertengkaran sepasang kekasih. Yak, indah sekali pagiku hari ini." Gray, yang ternyata sedang berjalan di bawah naungan payung berwarna biru es mendengus pelan. Sebelah tangannya yang tak memegang gagang payung ia masukkan ke dalam saku celana sekolahnya.

"Ha, kau mengajak berkelahi, eh, Ice Prince?!" Guratan kekesalan muncul pada wajah Natsu, matanya menatap nyalang ke arah sosok Gray yang ada di sebelah kirinya.

"Hoo? Kau menantangku, Flame Brain?!" Mata Gray balas menatap Natsu tak kalah nyalangnya.

Baru saja mereka akan berkelahi, namun urung karena suara berat dari seorang perempuan terdengar begitu mencekam, tak lupa hawa-hawa gelap yang tiba-tiba saja terasa kuat.

Erza Scarlet dengan segala kesetanannya. Muncul di belakang mereka secara tak disadari.

"Diam! Jangan melakukan hal konyol dalam lingkungan sekolah!"

"Aye, sir!"

Lucy hanya bisa menghela napas. "Oh iya, aku penasaran kenapa sekolah kita sering sekali dilanda hujan, ya."

"Kau tidak tau, Lucy?"

Lucy mengerjap, lalu menatap Erza yang telah berpindah posisi— yang tadi berada di belakang, kini berada di samping kanannya. "Tentang?"

Erza, Lucy, Natsu, Gray. Empat sekawan itu berjalan beriringan memasuki gedung Magnolia High School.

"Urband Legend tentang gadis hujan. Aku rasa itu sudah familiar di telinga siswa-siswi bahkan guru di Magnolia High School."

"Benarkah?" Natsu terlihat tak percaya, "tapi aku sama sekali belum pernah mendengarnya, tuh."

"Itu karena kau memang orang yang kudet, Flame Brain."

"Che! Memangnya kau pernah mendengarnya, Gray?"

Gray mengangkat bahu tak acuh, "tidak."

"TEME!" Suara Natsu menggelegar, "kau ingin kupukul rupanya!"

"Sini pu—"

"DIAM!" Dan lagi, Erza menghentikan pertikaian antara Gray dan Natsu.

"KAMI BERTEMAN!"

"Tidak bisakah kalian tidak adu mulut sehari saja?" Lucy memijat pelipis dengan tangannya yang bebas. "Aku pun tak pernah mendengar urband legend tentang gadis hujan. Erza, tolong ceritakan pada kami."

Langkah demi langkah mereka lalui, hingga tanpa sadar mereka sudah berada di dalam gedung sekolah. Lucy, Erza dan Gray menyimpan payung mereka pada tempat payung yang sudah tersedia di dekat pintu masuk gedung sekolah—Natsu tidak bawa payung, ingat?— lalu setelahnya mereka menuju loker masing-masing untuk mengganti sepatu dengan sepatu indoor.

"Gadis hujan..." Erza membuka suara, kini empat sekawan itu lagi-lagi berjalan seirama menuju kelas mereka. "Sebutan untuk seorang gadis yang dikutuk oleh hujan. Jadi kemanapun dia pergi, hujan pasti akan selalu mengikutinya."

"Lalu?" Natsu melipat kedua tangannya di belakang kepala.

"Sebentar..." Gray berbicara sebelum Erza melanjutkan perkataannya, "kemanapun gadis hujan itu pergi, pasti hujan turun?"

"Tunggu, tunggu!" Lucy sepertinya menyadari sesuatu, "kalau begitu ceritanya, berarti..."

Erza menghembuskan napas pelan. "Ya. Gadis hujan itu siswi sekolah kita."

"Shin, shin, drop." Gadis berambut biru berjalan perlahan, kepala sedikit menunduk; tak berani menatap kembali tatapan tak suka yang diberikan oleh mayoritas orang yang ia lewati saat ia baru saja memasuki gerbang sekolah. Juvia, begitu nama dari gadis berambut biru tersebut, sudah sering mendapatkan tatapan serupa sejak ia masih kecil namun entah kenapa sampai sekarang ia masih belum berani untuk membalas tatapan yang baginya sangat menyakitkan.

Maka langkah ia perlebar agar bisa cepat-cepat masuk ke dalam gedung sekolah. Tak lama, ia telah sampai di dalam gedung sekolah, menyimpan payung pada tempat yang telah tersedia dan pergi menuju loker miliknya untuk mengganti sepatu.

Tepat saat ia membuka lokernya dan mengambil sepatu...

"Akh—"

... sebuah silet menggores jari telunjuknya hingga darah merembes keluar perlahan. Ada beberapa silet yang disimpan di dalam sepatunya. Sejenak Juvia menatap nanar sepatunya yang terdapat silet di dalamnya, sebelum akhirnya ia buang silet tersebut sebelum memakainya.

"Lagi-lagi Juvia terkena musibah..."

Lokernya memang tidak pernah terkunci, jadi tak heran jika ada benda yang bukan miliknya di dalam sana.

Juvia memiliki alasan tersendiri kenapa loker miliknya tidak dikunci.


Sequitur Pluviam [Fairy Tail! AU]Where stories live. Discover now