Part 3 | Bahasa Tutur

18.7K 2.6K 235
                                    

Jangan percaya pada siapa pun, karena bayangan kita sendiri pun akan meninggalkan kita di saat gelap.




***








Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.















BAU au karbol menyengat indra penciuman. Ketukan sol sepatu disusul wajah-wajah asing silih berganti membentuk kecemasan yang mendesak dadanya. Lagi-lagi Faya menatap ruangan di ujung koridor. Setengah jam berlalu, mamanya belum keluar juga dari bilik konsultasi.

Faya masih ingat sepucat apa wajah mamanya usai dokter mengemukakan diagnosisnya. Dua minggu lalu, ia mengira siklus haid mamanya yang tidak teratur merupakan satu dari tanda-tanda menopause. Tujuan mereka ke rumah sakit pun karena Mama mengeluh perutnya kembung, sama sekali tak ada bayangan hal tersebut akan dikaitkan dengan kanker ovarium. Tidak disangka dokter berkata lain begitu hasil pemeriksaan kesehatan keluar.




Bang Keenan
Fay, kamu kan tahu Abang baru aja dirumahkan. Penghasilan Abang otomatis berkurang entah sampe kapan. Keisha juga masih setahun. Harga popok sama susunya enggak murah. Maaf, ya. Abang belum bisa bantu. Kamu talangin dulu biaya pengobatan Mama.




Kembali dibacanya balasan chat dari kakaknya. Sejam yang lalu, Faya mengirimkan hasil CT Scan pada Keenan. Kanker ovarium yang diderita mamanya telah memasuki stadium IIA.

Sungguh, Faya tidak menulis apa-apa selain: 'Bang, sering-sering tengokin Mama, ya' tetapi balasan yang diterimanya justru demikian. Siapa yang meminta uang siapa? Faya hanya ingin kakaknya menyisihkan sedikit waktu untuk peduli pada kondisi Mama, tidak lebih.

"It's okay, Fay. It's okay...."

Faya menepuk dadanya berulang kali. Panas menyengat hatinya. Ia perlu menengadahkan kepala agar air matanya tak meluncur jatuh.

Mungkin prioritas orang yang sudah berumah tangga begitu. Orang tua menjadi nomor sekian dibandingkan anak dan pasangan. Bahkan saat dikabari tentang mama yang sakit, reaksi pertamanya adalah blak-blakan bilang tidak bisa membantu urusan biaya. Padahal, diminta juga tidak.

Bukan hal baru. Faya paham sejak ayah mereka meninggal empat tahun silam, Keenan memang cenderung menjaga jarak dari ibu dan adiknya. Faya yang saat itu masih kuliah menebak alasannya mungkin karena kakaknya khawatir akan dibebani biaya pendidikannya. Dia memilih tidak berkomentar apa pun meski sebenarnya tahu Keenan tidak perlu seperti itu sebab biaya pendidikannya telah di-planning oleh ayahnya lewat deposito.

Uang pensiunan mendiang ayahnya juga cukup untuk menopang kebutuhan sehari-hari. Mama pun bukan tipe ibu yang cuma mengharap uluran uang dari sang anak untuk biaya hidup. Dibantu Faya, usaha katering kecil-kecilan mereka terbilang sukses di Jakarta.

Revisweet [TERBIT]Where stories live. Discover now