NAFAS X 20

10.8K 498 13
                                    

Liat Ilham yang berbaring di atas brankar itu menyakitkan. Sebenci, sekeselnya dan seselainnya aku ke dia itu, tetep aja aku enggak bisa liat dia kayak gini. Aku menarik kursi plastik ke dekat brankarnya, meraih jemarinya untuk ku genggam. Ini tangan lebih kurus dari sebelumnya, enggak makan apa gimana sih? Aku lho yang hamil, harusnya aku yang enggak nafsu makan. Kucium punggung tangannya dengan ringan, setelahnya mengusap punggungnya lembut.

"Aygong." Dahiku sudah menempel pada punggung tangannya, acuh dengan usapan lembut pada rambutku. "Aygong," Panggilnya lagi.

"Enggak." Aku malu campur kesal ke dia.

"Gua kangen lo." Ucapnya yang masih setia mengusap rambutku. "Juga si Printilan kita." Aku memukul perutnya hingga terdengar bunyi 'bug'. "Sakit."

Cepat-cepat aku mengusap jejak air mataku, menatapnya garang. "Lo ngapain sih pake berantem segala, heh? Emang bisa nabok orang?" Omelanku hanya disahuti dengan kekehannya. "Kenapa malah ketawa?"

"Gua seneng bisa denger bawelan ketus lo itu." Jawabnya yang kali ini tanganya mengusap pipi kiriku. "Lo kurus banget. Si Printilan bisa kena gizi buruk nanti."

Aku ingin menyentak tangannya yang menyentuh pipiku, "Enggak usah pegang-pegang." Sewotku.

Ilham kembali ketawa, entah kapan tangannya udah nelusup di leherku dan menarik leherku mendekat ke arahnya, "Gua kangen banget sama istri tersayang gua yang bawelnya pake diskonan ketus." Aku kembali memukul perutnya yang malah berbunyi suara ketawanya.

Mataku terpejam saat Ilham menarik kepalaku lebih mendekat padanya dan dia mencium keningku cukup lama. Lama banget kayak waktu berhenti buat dia yang nyium aku doang. Titik, enggak usah protes kalian, ya. Aku enggak nampung protesan para pengiriku.

"Jangan kabur-kaburan pake ngambek, ya." Ucapnya yang kembali mengusap lembut pipiku. "Gua sayang lo, Rin."

"Sayang aja? Cinta enggak?" Tanyaku, emosiku kembali tersulit.

Dia menggeleng lemah, "Sayang aja." Aku mencebik dan menjauhkan kepalaku darinya.

Melipat kedua tanganku di atas perutku yang sudah menyembul enam bulan, "Iya, cinta lo buat Mahendi Indiot itu aja. Gih sana kawinin dia kayak ngawinin kucing," Sungutku.

"Jangan lagi, Rin!" Katanya.

"Siapa yang mulai lagi? Lo kali yang mulai. Nyesel gua dateng ke sini." Cerocosku lagi.

"Rin,"

"Gua tahu lo enggak cinta gua, seengaknya senengin gua dikit napa pake bilang cinta meski lo enggak cinta." Aku mulai menangis lagi. "Gua tahu lo cinta mantan lo itu, si Mahendi indiot itu." Aku sudah terisak. Aku terus menepis tangan Ilham yang ingin meraih tanganku. "Enggak usah pegang-pegang. Jembekno lo itu."

"Rin, dengerin gua."

"Gua enggak mau dengerin lo. Apa yang lo omongin bikin gua sakit hati aja." Aku sudah nangis kejer-kejer di depannya. "Aduh!" aku memengang perutku.

"Rin?"

Aku menatapnya kesal, "Enggak bapak, enggak anak, sama aja nyakitin gua."

"Apaan?"

"Gua ditendang." Aku nangis lagi.

Aku enggak sadar Ilham sudah turun dari brankarnya dan mengusap lembut perutku. Matanya berbinar takjub saat lagi-lagi si Printilan nendang perutku. "Sekongkol kan kalian ini?" Tudingku sengit.

"Namanya juga printilan gua." kekeh Ilham yang kemudian mencium perutku. Aku memukul punggungnya pelan, kesal bercampur terharu melihat momen calon bapak dan printilannya itu.

Crazy Marriage [FINISHED] Where stories live. Discover now