NAFAS X 14

6.9K 443 7
                                    

NAFAS X 14
***

Aku nangis, aku sakit, pokoknya perih ati aku sampe nangis kejer gini. Kenapa sih aku?

"Aygong," aku segera menghapus air mataku, bergegas keluar dan menemui Ilham. "Ngapain di kamar? Enggak masak?"

"Gua males masak,"

"Kenapa suara lo? Apa lagi sakit?" aku menepis tangannya yang menyentuh keningku. "Kita makan di luar aja gimana?"

"Gua kenyang, lo ajak aja Siyah. Dia belum makan dari tadi siang." aku kembali masuk ke dalam kamar, berpura-pura menonton televisi.

"Rin, lo kenapa?"

"Gua kenapa emang?" aku membalas tatapannya, "gua baik-baik aja. Kalo lo laper, beli makan aja di luar, jangan lupa Siyah juga." ulangku kembali.

"Iya."

***

Dan rutinitas malam hari sebelum berangkat tidur adalah perawatan diri. Wajah dan badan. Hukumnya wajib.

"Aygong,"

"Hm?" aku mengusapkan skincare pada wajahku lalu mengoleskan lotion untuk tubuhku. "Apa?" tanyaku lagi setelah tak ada kelanjutan dari panggilan dia.

"Ada reunian minggu depan,"

Aku memutar tubuhku menghadapnya, "terus? Pergi aja, gua enggak ngelarang."

"Lo ikut, ya?"

"Kenapa gua ikut?" aku menarik selimut dan berbaring di sisi ranjangnya yang lain.

"Karena lo bini gua,"

"Sori, gua enggak mau ganggu quality time lo sama angkatan lo itu." aku memutus topik pembicaraan dengan menarik selimut sampai batas leher.

"Lo harus ikut," rengeknya yang memelukku erat, kakinya sudah mengunci kakiku dan bibirnya rakus menciumi wajahku sembarangan. "Gua enggak mau denger penolakan dari lo."

"Gua ngantuk,"

"Lo kenapa aneh hari ini?" katanya yang menempelkan wajahnya dengan wajahku. Ilham nyaman mengungkungku dalam rangkulan tangan dan kakinya.

Aku enggak harus bersikap kayak gini. Terserah dia mau jalan sama siapa, toh dulu nikahin aku karena kasihan. Pengantin wanita ditinggal kabur calon suaminya gitu aja tanpa ada penjelasan apapun.

Dan esok harinya, aku memilih bersikap seperti biasanya. Berpikir keras kemarin malam sampai membuat dua kantong mataku semakin kentara. Alhasil, aku harus make concelear lebih tebal dari biasanya.

"Pagi," Siyah memilih untuk makan roti dari pada masakanku. "Murung, mbak?"

"Gua?" aku menunjuk diriku sendiri setelah menyiapkan sarapan untuk Ilham, "murung kenapa juga? Bedak gua ketebelan ya?" aku memeriksa wajahku.

"Enggak sih. Biasa aja." jawab Siyah, aku mengangguk saja dan ikut duduk di seberangnya. "Mama pulang kapan sih mbak?"

"Ehm, besok deh kayaknya. Kan ngomongnya tiga hari aja."

Crazy Marriage [FINISHED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang