Pelukannya pada kedua kaki, semakin mengerat.

El takut sekali.

Takut.

Lalu, ia mencoba berdiri, dan mengambil sweater. Wajah piasnya tak ia pedulikan. El langsung beranjak keluar apartemen sambil memakai sweater tersebut.

"El! Lo mau ke mana?" Vano yang masih berada di depan apartemen langsung bertanya begitu El keluar dan beranjak pergi.

"Kerja. Tolong kasi Poppy makan," ujar El, dan ia langsung mempercepat langkah kakinya.

"Tapi, lo juga belom makan!"

El harus cepat sampai di tempat kerja. Dia harus meminjam ponsel manajer dan menelpon Orly. Dia butuh orang itu.

Langkahnya semakin mencepat. Begitu sampai di tempat kerja, dia langsung menuju ruang manajer dan meminjam ponselnya seperti yang telah direncanakan. Lalu, menekan nomor-nomor yang sudah ia hafal di luar kepala.

Dan El sungguh baru bisa tenang saat mendengar suara orang itu.

'Halo, Manajer! Ada apa?'

Napasnya yang tadi memburu, mulai teratur. El memejamkan kedua matanya, dan menelan ludah. Mencoba menenangkan detak jantungnya yang tadi menggila.

"Orly.." ujarnya pelan.

Orang yang berada di sambungan itu terdiam sejenak.

'Daniel...'

Lalu, saat menyebut namanya, nada suaranya melembut. Seolah tau, apa alasan El menelponnya.

'Semuanya akan baik-baik saja. Mereka ngga akan ngelukain kamu lagi.'

El mengangguk. Ia mempercayainya. Semuanya pasti akan baik-baik saja.

'Kamu tenang, ya. Ngga akan ada yang terjadi.'

*****

El masuk ke apartemennya dengan lelah.

Alvano tengah tertidur dengan posisi duduk di sofa. El kira, Bara akan menyeret pemuda itu pulang, ternyata dia masih bertahan, huh?

Ia beranjak menuju kamarnya. Membuka sweater dan meletakkannya begitu saja di lantai, lalu membuka lemari dan mengambil baju tidur. Setelah itu, pergi ke kamar mandi.

Baju tidur tadi, ia letakkan di meja kecil yang memang ada di sana. Lalu, ia membuka seragam yang sedari tadi melekat di tubuh berkeringatnya, dan memasukkannya ke dalam keranjang baju kotor.

El menatap tubuhnya yang terpantul dari cermin.

Ini sudah seperti kebiasaan yang selalu ia lakukan sebelum mandi. Menatap tubuh jelek dan menjijikannya. Ah, lihat itu. Banyak sekali bekas luka yang tergurat selamanya di sana. Tak bisa hilang. Lalu, El beranjak. Sedikit membelakangi cermin, untuk melihat bekas luka memanjang dari ujung bahu hingga ke tengah di punggungnya.

El menelan ludah. Merinding. Ia seolah merasakan lagi, dinginnya pisau bedah yang membelah paksa kulit punggungnya itu di saat tubuhnya yang tak bisa bergerak.

Jantungnya kembali berdetak kencang. Ia bergetar. Lalu, perlahan tapi pasti, tangan kirinya merambat naik. Menyentuh lehernya. Mencekiknya. Menghalangi oksigen yang akan masuk lewat sana.

Lebih dari apapun, El membenci dirinya sendiri.

'bruk!'

Seolah tersadar, tangannya menjauh. ia langsung menoleh ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Ringisan pelan terdengar dari luar.

"Akh, leher gue," Vano merintih. Mungkin dia jatuh dari sofa atau apalah.

El mendekat ke cermin. Mengangkat dagunya untuk melihat apakah cekikkannya tadi meninggalkan bekas atau tidak. Dia tidak mungkin membiarkan Vano melihat sesuatu yang 'janggal' pada dirinya.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now