Sequel : Our Life

19.2K 2.2K 687
                                    




YEAYY!!! HAPPY 500K THANK YOU SO MUCH READERS❤❤❤❤❤💋💋💋💋💋💋

***


Hari sudah pagi, sekitar pukul setengah enam. Gue masih bergelung di atas kasur dengan dibalut selimut tebal yang besar. Gue melirik kaca jendela besar yang menampilkan pemandangan pantai. Gue suka berada disini, gue harap Jovan sering sering membawa teman temannya untuk menginap di hotel ini. Untuk yang belum tahu gue ada dimana, gue lagi di Bali.

Gue mengusap pelan kedua mata dan menguap lebar. Gue harus bangun pagi. Tapi apa daya, tempat tidur itu layaknya magnet. Gue kerap dibawa terus menerus untuk melekat pada benda empuk yang berlapis seprai ini. Belum lagi pagi yang dingin serta mata kantuk. Kalau saja bisa gue bablas sampai siang, mungkin gue nggak akan terbangun dengan alarm di nakas. Tapi gue nggak bisa. Nggak bisa.

Gue menoleh ke kiri, tersenyum jenaka tatkala melihat wajah tidur dari laki laki yang belakang ini meminta untuk di pasangkan dasinya oleh gue, lelaki yang gue sediakan kopi setiap pagi, membuatnya makanan siang untuk di bawa ke kantor, dan menyambutnya dengan senyum dan pelukan di malam hari saat dia pulang dari urusan sibuknya itu.

Daniel Alvis Romero. Laki laki yang berstatus sebagai suami gue sejak 8 bulan yang lalu. Laki laki yang menangis haru ketika gue dengan pakaian pengantin di bawa masuk ke aula dengan digandeng papah. Dia yang berikrar suci di depan penghulu dengan berulang kali lantaran gugup. Dia yang menjatuhkan cincin pernikahan karena gugup. Gue nggak tau kalau Daniel segugup itu ketika hari pernikahan kami. Dia mencium dahi gue dengan sayang dihadapan ribuan orang dan para kerabat.

Masih ingat jelas, ketika teman teman kelas gue yang datang tersenyum haru dan senang. Bebrapa di antaranya meneteskan air mata karena bahagia. Seperti Samuel sahabat embrio gue yang datang jauh jauh dari Korea, ingat dia bukan menangis karena gue cinta pertamanya menikah. Ta[pi dia meneteskan air mata karena senang melihat sahabat kecilnya kini sudah ada yang jagain. Jovan Aldhan, teman curhat gue yang rela berantem sama Daniel karena dia udah membuat gue nangis kala SMA. Dia mengusap matanya berulang kali, mencoba menyembunyikan. Tapi siapapun tahu, dia memang menangis haru. Sonho sahabat gue yang kini memilki perusahaan game besar, yang juga ikut menangis, setelahnya mengatakan ingin menikah juga, tapi belum ketemu yang sesuai idamannya. Jadi dia nangis lantaran gue nikah dan keinginan dia buat nikah juga.

Hari itu adalah, hari terindah gue setelah hari dimana gue pertama kali melihat Ayah dan Ibu.

Merasa di perhatikan, Daniel tersenyum dan membuka matanya. Gue sendiri sibuk menyisir pelan rambut nya yang coklat tua itu.

"Aku pengen tidur terus, tapi sayang kalau ngelewatin pemandangan di depan aku. Masa aku masih tidur, padahal istri sendiri udah bangun" Ucap Daniel sembari memperhatikan wajah gue.

Belakangan ini hati gue suka berbunga kalau Daniel menyebut gue sebagai istrinya. Kayak ada rasa manis manisnya gitu. Daniel itu tipikal lakin laki yang nggak segan segan memperkenalka gue sebagai istrinya di depan banyak orang terutama kolega bisnisnya.

"Aku udah kenyang sama gombalan kamu"

Setelah gue mengatakan hal itu Daniel tersenyum nakal. Yang jelas, His smirk make me fall and crazy. Dia mendekatkan wajahnya secara tiba tiba dan mengecup kilat bibir gue, setelahnya dia tertawa pelan.

"Morning Kiss, haha"

Gue nggak terkejut. Daniel sering melakukannya ketika kami baru saja bangun dari tidur. Entah di kasur, di dapur, di ruang tv, dan di kamar mandi. Eh? Tempat terakhir memang terdengar ambigu. Tak jarang juga kami selalu kebablasan akibat Morning Kiss dan berakhir di atas tempat tidur lagi. You know what i mean right?

Jagoan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang