Epilog : Takdir

23.5K 3.4K 740
                                    

____

Gue memang belum melupakan Daniel. Bayang bayang dia yang dulu pernah hadir di hidup gue, nggak bisa gitu aja hilang atau hambar walaupun diterpa waktu bertahun-tahun. Gue sadar yang namanya cinta memang bukan urusan yang sederhana, apalagi yang namanya perpisahan dan melupakan.

Gue pernah bilang, nggak mau nungguin Daniel, gue nggak mengiyakan janji Daniel yang akan kembali lagi. Karena gue sendiri nggak yakin, apakah iyamasih memiliki perasaan yang sama. Tapi nyatanya, gue bahkan nggak bisa seharipun tidak berdiam diri sembari memikirkan seseorang yang kabarnya bahkan nggak gue ketahui.

Tapi, nyatanya sekarang. Sosok itu kini tengah duduk di depan gue, tersenyum cerah bagaikan matahari, tatapan memabukkan yang masih sama seperti dulu, serta mata bulan sabit yang merupakan kesukaan gue.


"Hey, jangan nangis"

Tangannya bergerak mengusap mata gue, mencoba memberhentikan air mata yang terus-terusan keluar tanpa gue perintahkan. Gue hanya terharu. Senang bisa bertemu dia lagi.

"Kenapa nggak balik lagi?" Tanya gue. masih dengan keadaan menunduk, menatap tangan dia yang telah berpindah menggenggam kedua tangan kecil gue. mengusapnya dengan pelan, menggenggamnya dengan erat dan lembut.

"Urusan aku belum selesai, kemarin aku masih nyusun"

Gue menaikkan pandangan gue, dan bertatap muka dengannya. Tatapannya benar benar meneduhkan, seperti lo menemukan kembali sesuatu yang hilang, dan nyaman seperti pulang kerumah.

"Kamu belum lulus?"

Dia tertawa pelan, sial. Tawanya benar benar sebuah candu. "Kalo yang kamu maksud S1 administrasi bisnis? Aku udah lulus dua tahun yang lalu"

Gue mengerutkan dahi, sebentar dia lulusnya cepet banget. Lebih awal. Berarti Daniel lulus sarjana di umur 21 tahun sama kayak gue. Dengan kata lain, dia pasti punya nilai yang tinggi untuk bisa lulus lebih awal dari waktu normal.

"Terus? Kamu nyusun apa kemaren?"

"Aku kan ngambil pendidikan master di bidang Ekonomi lagi, di Stanford University, deket sini kok" Jawabnya.

Gue tersenyum, tangan gue bergerak mengelus rambut dia yang berwarna coklat muda, warna yang lebih berani ketimbang black brown yang dulu. Daniel yang dulunya suka gue hukum karena nakal, bandel, tawuran, ngerokok, ngeclub, telat dan masih banyak lagi. Sekarang dia, jauh dari kata bad boy seperti yang gue sebut dulu. Dia benar benar berubah menjadi orang yang lebih baik.

"Kan kamu bilang, aku nggak boleh aneh aneh disini" Tambahnya lagi. Yang sukses membuat senyuman gue melebar.

Pandangan gue menunduk menatap benda yang sedikit menarik perhatian mata di tangannya, tepatnya di jari manis nya. Benda berwarna putih yang mengkilau, yang melingkar manis di jarinya. Senyuman gue luntur, bagaikan petir di siang bolong, nafas gue tercekat. Jangan bilang, sumpah jangan bilang.

"Niel, you already have someone else" bisik gue pelan. Nyaris tidak terdengar.

Namun nampaknya Daniel menyadari ekspresi wajah gue yang berubah, dia mengikuti arah pandang mata gue menuju cincin yang sedang dia pakai.







"Ini cincin biasa, nggak ada artinya. Seorang Daniel masih tetap lajang"



Dia tertawa keras, sial. Seputus asa itu kah gue tadi? Gue menunduk, tersenyum kecil menyadari Daniel masih belum memiliki orang lain.

"Jadi, perusahaan Apollo ini milik keluarga kamu?"

Gue mengalihkan pembicaraan, menghentikan Daniel dari tawa puas nya. gue nggak pernah menyangka, kalo Daniel adalah direktur yang Eric maksud. Tak heran kenapa ayahnya sampai mengancam Daniel untuk sekolah di Amerika, demi melanjutkan perusahaannya yang besar dan sukses ini. Ditambah Daniel itu anak tunggal. By the way gue tarik ucapan gue, Direktur Apollo lebih menarik dan lebih hot dibanding Eric.

Jagoan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang