"Ngga mungkin ilang. Ngga pernah gue bawa kemana-mana kok," gumamnya.

Ia berkacak pinggang lagi. Kedua matanya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Lalu, dia terdiam. Menatap sebuah kunci yang tergantung manis di sela lemari dan dinding.

"Kok kampret ya?" gerutunya pelan, dan mengambil kunci itu.

El mengambil tasnya dan membawanya keluar, lalu mengeluarkan sebuah note kecil dari dalam sana, serta menulis pesan untuk Vano.

'Ini kunci duplikat apartemen gue. Kalo lo dikasi hidayah dan mau pulang hari ini, kunci pintunya dari luar, dan masukin lagi kuncinya lewat sela bawah pintu.'

Lalu menempel note itu di meja dan meletakkan kuncinya di atas.

El memanggul tasnya. Bersiap untuk pergi ke sekolah. Memakai sepatu, lalu membuka pintu apartemen. Dan dia mengerjap. Langit masih hitam kebiruan. Terlalu awal jika ingin berangkat ke sekolah sekarang. Dia memang bukan anak nakal, tapi dia juga bukan anak yang serajin itu hingga berangkat sekolah pagi sekali. Memangnya dia penjaga sekolah apa?

Menggerutu pelan, El masuk lagi ke apartemennya. Membuka sepatu dan duduk di sofa tunggal sambil bertopang dagu.

Ini semua karena pemuda besar itu. Kalau saja dia tidak ada, El pasti bisa memulai harinya dengan normal seperti biasa.

Poppy bangun. Ia meregangkan tubuhnya dan mulai menjilati kaki-kaki kecilnya.

El kembali beranjak. Mengambil mangkuk makanan Poppy, dan mengisinya dengan makanan kucing. Lalu, meletakkannya di dekat kucing hitam itu.

Ah...

El menoleh. Menatap Alvano yang entah kapan bangunnya. Lalu, menghela napas dan mengecek isi kulkas. Mengira-ngira, makanan apa yang bisa ia buat untuk sarapan pemuda itu. Eh, ngomong-ngomong, dia tidak punya nasi. Berhubung El jarang makan, jadi dia hampir tidak pernah beli beras.

Ia bersedekap dada. Lalu, mengambil dua butir telur. Ah! Minyak goreng juga tidak ada! El berdecak. Lalu, memeriksa kulkas dengan teliti. Siapa tau Bara membelikannya mentega atau minyak apa gitu. Tapi, tidak ada.

El menggerutu dan mengacak rambutnya pelan. Telur tadi ia letakan lagi, lalu menutup pintu kulkas dan mengambil dompet.

Kalau tidak salah, di dekat sini ada minimarket yang buka dua puluh empat jam.

El memakai sandalnya dan keluar. Tidak peduli pada koridor apartemen yang gelap karena beberapa lampu yang memang mati. Ia turun ke bawah dan keluar dari bangunan. Terkadang dia merasa bangunan tua itu miliknya sendiri, karena jarang melihat penghuni yang lain.

Kakinya berbelok ke kiri. Setelah berjalan kurang lebih 50 meter dari apartemen, dia sampai di minimarket itu.

Sambutan selamat datang ia abaikan. Ia langsung menuju ke rak yang berisi minyak goreng, setelah itu kembali beranjak menuju kasir, namun langkahnya terhenti. Ia berbalik, dan mencari keberadaan roti tawar. Setelah ketemu, ia ambil satu bungkus dan menuju kasir untuk membayar.

"Semuanya tiga puluh tiga ribu empat ratus," ujar si kasir.

El mengeluarkan uang lima puluh ribu dan dua uang koin bernominal dua ratus.

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now