Chapter 13 : Kemungkinan

18.7K 2.9K 310
                                    

Hari minggu ini nggak sama kayak biasanya. Rumah ini kedatangan Mama setelah hampir sebulan ibuku itu tidak mengunjungiku disini.

Mama datang sendirian, hanya membawa sekotak brownies dan buah-buahan. Setelah makan siang bersama, kami menghabiskan waktu untuk menonton televisi di ruang tengah sambil menggobrolkan banyak hal. Topik yang paling sering dibahas tentu saja tentang aku.

"Gimana sekolah kamu, Ge?" tanya Mama. Mamaku ini adalah wanita paruh baya yang tahun ini akan memasukki usia 40 tahun. Beliau adalah jenis ibu-ibu yang selalu tampil modis dan tidak mau ketinggalan jaman. Rambut pendek selehernya dan tubuh langsingnya menambah kesan awet muda dalam dirinya.

Aku memandang sekilas ke arah Mama yang hari ini mengenakan baju berwarna hijau tosca, warnanya begitu serasi dengan tas berlogo kereta kuda miliknya yang diletakkannya di atas sofa tepat di sampingnya.

Atas pertanyaannya yang dilontarkan beliau tadi, aku mencoba menjawab apa adanya, "Kayak biasa, Ma."

"Udah masuk musim ulangan?"

"Bentar lagi UTS," kataku.

Mama manggut-manggut seakan mengerti.
"Sekali-kali, kalian yang main ke rumah," ucap Mama sambil menoleh ke Bunda.

Bundaku adalah seorang wanita paruh baya yang usianya tiga tahun lebih tua dari pada Mama. Wajah mereka mirip, tentu saja, karena mereka bersaudara. Tapi Bunda agak sedikit berisi dan sedikit lebih pendek dari Mama.

"Iya nanti kalau ada waktu luang ya, Ran. Sekalian bareng anak-anak. Adri kuliahnya full, Gea juga sekolahnya nggak bisa ditinggalin," jawab Bunda dengan senyum minta dimaklumi.

Mama menghela napas. "Iya, nanti kalau mau datang, datang aja kok. Pintu rumah selalu terbuka lebar kalau tamunya kalian."

Tamu. Aku mengulang satu kata itu lalu mencibir dalam hati.

"Gea, si Nauri nanyain kamu terus. Kalian harusnya jalan bareng, biar bisa makin akrab," ujar Mama padaku kemudian.

Aku mendelik. Itu reaksi spontan yang dilakukan oleh tubuhku ketika mendengar ucapan Mama barusan. Jalan sama Nauri? Tunggu matahari yang mengelilingi bumi, baru deh aku sudi. Aku tahu tipikal Nauri. Dia pasti nanyain aku cuma mau cari muka doang depan Mama.

Kak Adri yang semula duduk di sampingku pamit meninggalkan ruangan karena ada satu hal yang harus dia lakukan di kamarnya. Bunda juga memutuskan untuk ke dapur, hendak memotong buah-buahan yang dibawa Mama agar dapat dinikmati bersama. Tersisa aku dan Mama di ruang tengah.

Bosan dengan tontonan yang itu-itu saja, perhatianku teralih pada ponsel yang ada di genggamanku. Karena Mama nggak mengajak bicara lagi, aku memilih untuk menyibukkan diri berselancar di dunia maya.

Di Instagram, ada satu postingan baru dari Arka. Foto dia bersama Jess yang entah diambil kapan. Sepertinya lokasinya di tempat makan. Entahlah. Mereka berdua tampak serasi. Di bawah postingan itu, tidak ada caption yang tertera.

"Mama udah transfer uang jumat kemarin, udah dicek?" tanya Mama tiba-tiba.

"Udah," jawabku tanpa menoleh.

"Cukup kan segitu untuk satu bulan?"

Aku meningat-ingat nominalnya. "Cukup."

"Ok, kalau misal ada keperluan dadakan dan butuh uang, kamu tinggal telepon Mama. Jangan nyusahin Bunda kamu."

Aku mendengus tak kentara, "Iya."

Just a Friend to You Where stories live. Discover now