Volume 15 - Indestructible [END]

3.9K 331 83
                                    

Dunia itu sempit.

Sebagian orang membenarkan, sebagiannya lagi justru menolak mentah-mentah konsep tersebut. Bumi sendiri adalah planet nomor lima terbesar di Tata Surya, mana mungkin sempit.

Persepsi setiap orang berbeda. Sejenak, ada praduga yang membuat Irene memahami mengapa nol koma sekian persen dari—kurang lebih 7 miliar penduduk bumi menyetujui prinsip itu. Terlebih sesaat setelah dirinya dan Joy duduk dengan napas terengah-engah di dekat salah satu pohon besar berdaun rindang sehabis kabur dari hadapan Sehun. Oknum-oknum yang merasa dunia itu sempit—seperti dirinya—mungkin telah mengalami sesuatu. Sama halnya dengan dirinya sendiri. Tiga bulan lamanya dia tidak memiliki koneksi apapun dengan Sehun, bahkan dia sudah menghapus segala sesuatunya mengenai pemuda itu dari ponselnya. Iya, ponselnya. Untuk menghapus dari pikirannya itu merupakan hal terlalu-sangat-tidak-mungkin.

Mengesampingkan soal itu, bagaimana bisa dia bertemu dengan pemuda itu tepat hari ini dan di tempat ini juga. Iya, Irene tahu, Korea tak seluas itu. Hanya saja, astaga. Dari sekian banyak tempat wisata di Daegu, mengapa Sehun atau mungkin dirinya harus datang ke tempat ini? Terlebih lagi di waktu yang sama pula.

Itu takdir, kata mereka.

Apa sebenarnya takdir? Apakah dia jatuh cinta dan hingga sekarang sulit melepas perasaannya terhadap Sehun juga takdir? Kalau begitu, Irene membenci takdir. Iya, sesimpel itu.

Beberapa sekon bergelut dengan pikiran, Irene lentas melirik Joy yang terlihat jauh lebih berkeringat dan lelah dari dirinya. "Kau tidak apa-apa?" Tanya Irene disela-sela tarikan napas guna memasok oksigen ke dalam paru-paru.

Mendengar pertanyaan Irene Joy menoleh dengan sebal dan melempar pandangan melotot. Dia menarik napas panjang. "Apanya yang tidak apa-apa? Kau mau membunuhku?"

Irene jadi tak enak terhadap temannya itu, tetapi dia tetap membalas dengan sebuah cengiran tak bersalah. "Maafkan aku, Joy-ah."

Joy membalas dengan sebuah dengkusan pelan. Kepalanya kemudian mendongak dan kedua netranya sibuk mengedar memandang langit. Tapi tak disangka, dia berucap pelan, "Apa kau sedang menghindar dari kenyataan?"

Nada bicara Joy mungkin sangat sederhana dan terlihat tak mengandung unsur apapun. Walaupun begitu, indra pendengaran Irene malah mendengar sebuah sindiran di dalamnya. Lagipula Irene sadar dia patut mendapatkan hal semacam itu saat ini.

"Aku belum siap bertemu dengannya, Joy-ah," sahut Irene sembari tersenyum miris. Kepala Irene kemudian menunduk dan memandang lurus rerumputan yang menjadi alas mereka duduk.

"Kenapa? Aku kira kau akan bahagia melihatnya mengingat bagaimana merekahnya senyummu saat kita mengobrol mengenai dia." Joy berkata sambil melirik Irene yang kini menghela napas panjang dan terlihat tak bersemangat.

"Kau tahu, aku takut terluka lagi. Jadi aku memilih menghindar dari realita," ujar Irene seraya memainkan kedua ujung jari telunjuknya.

Joy tersenyum tipis. "Dia memang memberimu luka, tapi kali ini dia datang untuk memperbaiki segalanya, Rene," ujarnya sok bijak kemudian.

Irene mengangkat sedikit lehernya kemudian terkekeh pelan, "Apa orang yang menceramahi aku ini sudah berpengalaman?" Cibir Irene sembari menyikut Joy yang kini justru tertawa pelan. Melihat gelagat Joy yang selalu bersemangat dan selalu membawa virus kebahagiaan membuat Irene sedikit terhibur.

"Tapi, Irene, kau tidak bisa bersembunyi selamanya," lanjut Joy lagi. Kali ini pandangannya fokus ke arah Irene yang refleks menoleh padanya setelah mendengar sebaris kalimat itu.

Irene tersenyum. Senyum yang menunjukkan bahwa gadis itu terluka setiap detiknya. Karena setiap detik hidupnya—semenjak dia jatuh cinta pada Sehun, dia selalu memikirkan pemuda itu. Itu menyakitkan.

L♡DK: Living With YouWhere stories live. Discover now