2.1 Tukang Boker di Celana

35.4K 5K 227
                                    

AURA permusuhan masih terasa sangat jelas. Daripada menyeramkan, ekspresi musuh bebuyutan Purna sejak sekolah dasar sampai tak tahu kapan berakhirnya itu membuatnya ingin mengoceh panjang lebar.

"Karena kamu sudah lulus psikotes—"

"Iya, dong. Tingkat psiko saya tinggi, Pak."

Leo—yang baru saja bertanya tetapi disambar oleh jawaban Purna seketika tertawa. Wajah menyeramkannya tadi berubah lebih bersahabat.

Purna saja heran dengan orang yang dia temui. Dia diam saja semua orang tertawa. Dia bicara satu kata, orang sudah tersenyum. Dua kata, orang sudah ngakak. Astaga, bagaimana kalau dia mengomel? Standar lucu bagi orang-orang serapi lelaki di depannya dan eksekutif muda lainnya memang sepertinya sangat receh.

"Perkenalkan, saya Leo, dan ini Kanser."

Tentu saja Purna tahu nama Kanser. Dulu dia sering mengejek nama itu sampai bosan rasanya.

"Iya, Pak Leo."

"Kita mulai saja, ya."

Sebenarnya Purna nyaman dengan cara wawancara Leo, tapi tidak di bawah tatapan menyelidik dari Kanser.

"Nama yang unik."

Purna tidak menjawab karena sepertinya Leo sedang bergumam sendiri.

Pertanyaannya adalah, mengapa dia ingat dengan Kanser? Jelas, karena sejak kecil wajah Kanser tidak berubah. Dia tidak munafik dengan tidak mengakui bahwa Kanser sangat tampan. Dulu saat kecil bibit-bibit ketampanan itu sudah terlihat. Putih, bersih, dengan bibir merah yang sangat imut. Itu dulu. Sebelum Purna tahu bahwa Kanser adalah bocah pindahan yang sangat nakal dan hobi menjahilinya karena suka boker di celana.

Dan sekarang ... hanya ada satu perbedaan dari Kanser. Itu adalah bayi imut versi dewasa. Siapa sangka bahwa Kanser akan setampan ini. Alisnya tebal tampa sulam, bibirnya merah tanpa sulam juga, dan wajahnya bersih tanpa jerawat. Belum lagi mata tajamnya yang kini terarah ke Purna.

Purna berpuluh kali menyadari ketampanan itu, tetapi beribu kali juga dia menyadari betapa jahatnya Kanser di masa lalu.

Alasan mengapa—sepertinya—Kanser masih mengenalnya, sudah pasti dari riwayat hidup yang Purna tuliskan di surat lamaran pekerjaan. Pasti dari situ. Riwayat pendidikan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang sama sebelum mereka berpisah saat Kanser mengikuti kelas akselerasi. Setelah lulus, kabarnya Kanser dibawa orang tuanya pindah ke luar negeri.

Sampai sekarang, itulah pertama kalinya mereka kembali bertemu.

"Sebenarnya jam kerja di sini tidak fleksibel, Pur."

"Jangan panggil Pur, Pak."

"Em, baiklah ... Na?"

Purna mengangguk. Dia fokus pada Leo.

"Tetapi karena jadwal kuliahmu sedikit padat, jadi kami bisa memberikan toleransi. Hari Senin, kamu bisa masuk jam 5 sore. Hari Selasa sampai Jumat, masuk jam 4 sore. Sabtu dan Minggu masuk jam 6 pagi. Satu shift 8 jam kerja. Bagaimana?"

Purna menghitung dalam hati. Dan ... "Iya, Pak. Setuju!" teriaknya tanpa sadar.

Leo menahan tawa melihat keantusiasan Purna.

"Mana bisa. Aturan tetap aturan!" Suara menyeramkan Kanser keluar. Lelaki itu meraih map dan menilik jadwal kuliah di depannya. "Kamu tetap masuk jam 7 malam untuk hari Senin—Jumat, dan jam 6 pagi untuk hari Sabtu dan Minggu. Tidak ada istirahat kecuali makan dan ibadah. Tidak ada hari libur untuk bulan pertama. Itu peraturan dari perusahaan kami. Terima tidak terima, terserah."

EGOMART!: Selamat Pagi, Selamat Datang di Egomart!Where stories live. Discover now