1.2 Pulsanya Sekalian?

Start from the beginning
                                    

Irvan kembali tertawa. Dia merangkul bahu Purna semakin erat dan berjalan menuju kelas.

"Gue, sih ragu lo mau kerja."

Purna memutar bola matanya kesal. Dosen sedang mengajar di depan tapi siapa pun yang mengobrol tidak akan dipedulikan. Bagi dosen yang satu itu, kewajibannya hanya mengajar dan menularkan ilmu. Urusan mahasiswa yang memperhatikan, jadi urusan pribadi para mahasiswa.

"Cuma lo yang meragukan gue, Van. Gue sedikit sakit hati ini." Purna memegang dadanya.

"Gue lebih ke khawatir, sih. Takutnya lo kecapekan aja."

"Tenang, gue udah terbiasa capek nungguin lo dari dulu, kan?" Purna tertawa.

Irvan berdecak. "Jangan dibahas terus, deh. Sekarang gue yang ngejar, lo yang lari."

"Butuh usaha ekstra karena lo udah nolak seorang Purnama."

Irvan mengedipkan mata. "Apa pun."

"Yang di pojok, silakan keluar dari perkuliahan saya sekarang juga!"

Oow. Sepertinya dosen itu sudah bertaubat dari dosen-tidak-peduli menjadi dosen-yang-memperhatikan-mahasiswanya. Karena sekarang Purna dan Irvan benar-benar diusir dari kelas.

"Lo, sih." Purna menyalahkan Irvan.

Irvan tidak peduli. Dia menatap Purna dengan intens. "Jalan, yuk."

"Capek. Naik mobil mau."

"Ya itu maksud gue!"

Purna tertawa melihat kejengkelan Irvan. "Jangan marah-marah mulu kenapa, cepat tua nanti, Van."

"Tuanya kan nanti, bukan sekarang."

"Ngomong aja sana sama tembok. Datar banget omongan lo," cibir Purna.

Mereka terus berjalan. Irvan tidak melepas rangkulannya, tidak lagi sekarang. "Purnama," ejanya.

"Apa panggil-panggil nama gue? Mau bilang nama gue kayak cowok? Yang lebih kayak cowok itu nama Purnomo. Untung aja nama gue Purnama."

Irvan tergelak. Sungguh, Purna adalah gadis paling menggemaskan yang pernah dia kenal selama ini. Hasutan dari mana sampai dulu dia menyia-nyiakan perasaan gadis itu padanya hingga kini dia yang berbalik menyimpan rasa.

Irvan tidak tahu apakah kini perasaan Purna masih sama, dia hanya ingin kedekatan mereka tetap seperti ini. Purna bukan pendendam, itulah yang membuat mereka masih berjalan bersama kini meskipun Irvan terhitung sudah menyakiti hati Purna.

"Duduk dulu sebentar." Irvan membimbing Purna duduk di kursi taman.

Seperti biasa, Purna tidak terbawa suasana dengan sekitar, malah asyik bermain ponselnya. Entah Irvan harus melakukan apa untuk membuat Purna mengerti akan perasaannya. Purna seperti menutup diri dan menutup hati darinya.

"Lo suka cokelat, kan? Ini gue kasih buat lo."

Mata Purna berbinar. Dia meraih cokelat Tambalronnn putih pemberian Irvan. "Makasih, Van ...."

Melihat itu, Irvan ikut tersenyum. "Menurut lo, gimana kalo gue suka sama lo?"

"Derita lo." Purna membuka bungkusan cokelat.

"Kok gitu?"

"Lo kayak terpaksa gitu suka sama gue."

Irvan berdecak. Dia tidak habis pikir dengan gadis macam Purna.

"Sori, Van." Purna tahu itu bukan saat untuk bercanda. "Gue tahu, kok. Apa yang lo tunjukkin ke gue selama ini."

"Gue juga nggak maksa lo buat ngerti. Salah gue juga."

EGOMART!: Selamat Pagi, Selamat Datang di Egomart!Where stories live. Discover now