Enam

11K 2.4K 160
                                    

Kayaknya bab ini acakadul dah.
Tolong bantu koreksi ya.

Theme song Adjani judulnya symphony dari clean bandit.
***

Saat merasa yakin bahwa ia sudah berada cukup jauh dari kereta dan rombongan yang mengajaknya untuk pergi ke Suaka, Adjani dengan hati-hati melepaskan gaun yang dia pakai, menggantungkannya ke semak yang cukup jauh dari jangkauan air yang tergenang kemudian berjalan tertatih menuju danau untuk membersihkan diri.

Ia tidak ingat kapan terakhir kali mandi. Namun Adjani sadar, tubuhnya sangat kotor. Pantas saja Dean nyaris muntah mencium bau tubuhnya yang sudah pasti sangat bau.

Padahal ia ingat, Shield selalu melarangnya mandi. Hewan pengerat itu selalu berkata, aroma tubuh Adjani yang bersih bisa mengundang "mereka" mendekat, akan tetapi dia tidak bisa menahan diri. Meskipun tadi dia mendengar Shield berkata pada rombongan Dean kalau dia berbohong tentang air sebagai penyembuh. Padahal semua itu bukan dusta.

Dia cuma tidak ingin mereka tahu siapa aku karena kalau mereka tahu, sudah pasti pilihannya hanya satu.

Karena itu mereka harus merahasiakan hal itu dari siapapun juga.

Entahlah, jika Shield yang menyuruhnya tutup mulut, Adjani akan menurut. Beberapa kali ia mangkir dan selalu berakhir kacau. Sekali ini dia tidak akan melakukannya lagi. Apalagi karena mereka sudah berada di luar sirkus, otomatis satu-satunya harapan adalah dengan meminta pertolongan Dean.

Meski pria itu jelas sekali muak kepadanya.

Adjani menghela napas. Dengan wajah cacat, mata rusak, tubuh penuh parut luka bahkan rambut seperti sapu ijuk, mustahil ia akan mendapatkan sedikit perhatian. Tidak seujung kuku pun ia terlihat menarik. Bahkan jika dibandingkan dengan Melody atau Lala, dia seperti sampah busuk.

"Aduduuh..." Adjani mengerenyit ketika air yang merendam tubuhnya mulai mengenai luka bekas cambukan Tuan Baron kemarin pagi karena ia gagal menghalau rombongan gajah yang mengamuk dan mematahkan beberapa buah bangku. Cambuk pria itu benar-benar tajam seperti pisau. Adjani tidak ingat berapa banyak pecutan yang ia dapatkan karena pada hitungan kesepuluh kesadarannya telah hilang. Saat terbangun, hal yang diingatnya adalah ia berusaha untuk kabur dan melepaskan diri dari gigitan Leon.

Barangkali binatang itu menggigitnya karena mencium bau darah.

Entahlah, dia tidak mengerti. Barangkali singa tua itu, seperti juga yang lain ingin dia mati.

"Sudah kubilang kamu tidak perlu mandi. Mereka sudah membersihkan semuanya tadi malam." Shield yang ikut mencelupkan diri ke dalam air mulai berenang mendekati Adjani yang masih meringis di tengah dinginnya air danau.

"Pria yang bernama Aire itu mencoba dengan segenap kekuatannya untuk menyembuhkan kamu, tapi gagal. Dia sempat marah-marah."

Adjani tersenyum dengan getir. Tubuhnya sudah terbenam sebatas dada dan ia mulai menggosok beberapa bagian badannya dengan hati-hati agar tidak mengenai luka yang ia derita, tak lupa menggosok rambut yang sepertinya memang butuh dicuci.

"Dia tidak tahu kalau aku tidak mempan diobati dengan hal-hal semacam itu." Adjani mengerling santai pada Shield yang sepertinya mulai tertarik melihat luka cakar yang memanjang di sekitar leher gadis itu.

"Airnya cepat bereaksi kali ini. Lukamu sedikit mengering."

Secara refleks Adjani meraba lukanya. Masih perih, namun seperti kata Shield, ia tidak menemukan luka itu sebesar hari sebelum ini. Selain mengering, areanya mulai mengecil.

"Sudah waktunya memanjangkan rambut kalau begitu."

Adjani yang sedikit meringis ketika tidak sengaja menyentuh luka di bawah ketiak berusaha tersenyum.

"Aku selalu memanjangkan rambut. Cuma, gara-gara aku lupa membersihkan asrama, Tuan Baron membakar rambutku dan menjadikannya atraksi kalau-kalau kamu tidak ingat."

Mana mungkin Shield lupa. Peristiwa delapan bulan lalu nyaris membuatnya merubah wujud aslinya. Ia ingin sekali menikam jantung pria tambun pemilik sirkus berhati culas itu saat melihat Adjani berteriak ketakutan karena kepalanya dipenuhi api. Jika saja ia tidak menabrak satu drum yang ternyata berisi air lalu menarik gadis itu agar mau membenamkan kepala, Adjani pasti tidak akan selamat.

Air selalu membantu walau setelah itu rambutnya tidak terselamatkan lagi. Luka-luka dikepalanya bahkan sangat parah. Entah apa yang terjadi, hingga suatu hari, rambut gadis itu mulai tumbuh kembali, meski kemudian mereka mendapati keadaan mata Adjani mulai mengkhawatirkan. Entah apa yang digunakan oleh Tuan Baron untuk menyulut api di kepala Adjani. Mereka tidak tahu cairan yang pria itu gunakan hingga membuatnya nyaris kehilangan penglihatan. Sebelah matanya seperti tertutup kabut walau sebenarnya dia bisa melihat meski tidak lagi sempurna.

Tubuhnya benar-benar dibuat hancur oleh pria keji itu dan mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Adjani yang paling Shield sayangi hanya bisa mengaduh tiap malam dalam keheningan yang hanya bisa dirinya sendiri dengar. Satu-satunya saat dimana Adjani masih terjaga dan mendengarkan banyak cerita tentang Suaka, tentang masa depan dan nasib mereka.

"Mereka mungkin bisa menghancurkan tubuhmu, tapi di dalam sini," Shield menunjuk dada Adjani yang saat itu meringkuk di lantai tanah yang kasar, dingin dan kotor tanpa alas dengan kuku tangan dan kaki yang menghitam, "kamu adalah manusia tercantik, paling indah yang pernah aku temukan."

Adjani pasti akan tersenyum. Dengan mudah ia akan terhibur meski tahu kenyataannya seperti apa. Tubuhnya tidak akan lagi bisa pulih.

"Jangan terlalu bersih, Nona. Kita tidak akan selamat kalau para pemburu gila harta itu datang dan menculikmu."

Adjani segera berhenti dan menoleh pada sang ferret dengan tatapan penuh kengerian.

"Lima berlian adalah hal yang teramat langka dan kamu cuma satu-satunya di dunia."

Ketika kata "lima berlian" disebutkan oleh Shield, Adjani langsung beringsut menuju tepian danau dan keluar dengan gigi gemeletuk menahan dingin. Ia sedang mengenakan kembali gaun putih bersih yang tadi dilepaskannya saat Shield mendekat dan mengibaskan air disekujur tubuhnya.

"Kau tampak amat cantik setelah mandi, Nona." Dia memuji yang segera dibalas Adjani dengan kerlingan lemah.

"Aku harus sering-sering mandi kalau begitu. Lagipula malu rasanya berdekatan dengan Tuan Aire dan sahabatnya dengan keadaanku yang seperti ini. Tidak terbayang rasanya mereka harus menutup hidung dan menahan jijik sepanjang malam karena aku."

Shield tidak membantah walau kata-kata Adjani tidak benar. Kecuali Dean, tidak ada satupun dari Aire, Melody atau Lala yang protes tentang keadaannya. Ketiga orang itu menghabiskan sepanjang malam mereka untuk menanyainya tentang Adjani dan apa yang telah gadis itu alami hingga mengalami penyiksaan brutal, namun hanya sedikit saja informasi yang bisa ia berikan. Mereka tidak perlu tahu banyak hal. Bahkan Adjani pun banyak tidak tahu tentang apapun yang ia simpan baik-baik selama ini.

Tidak untuk saat ini.

Karena kalau ia tahu, Shield yakin, Adjani tidak akan mau mengunjungi Suaka yang selama ini ia yakini sebagai tempat perlindungan terakhir.

Tidak.

Suaka bukanlah surga untuk seorang lima berlian seperti dirinya.

Adjani tidak akan tahu bahwa takdirnya akan usai begitu kakinya menginjak Suaka.

Hidupnya akan berakhir disana.

***

A Zero DestinyWhere stories live. Discover now