Sembilan

13.7K 2.2K 161
                                    

Sepanjang sisa hari itu rombongan kereta yang dipimpin oleh Aire memilih untuk beristirahat di dekat danau tempat mereka berhenti sejak pagi. Waktu yang lowong dimanfaatkan oleh Aire dan Dean untuk memeriksa perlengkapan mereka sementara Melody dan Lala sibuk memasak untuk makan mereka. Adjani yang pada mulanya merasa canggung memutuskan untuk memberi bantuan yang ia bisa sekadar menunjukkan kalau ia tidak hanya menumpang, sayangnya Lala dan Melody malah melarang dan menyuruhnya untuk banyak beristirahat tidak peduli Adjani meyakinkan mereka semua kalau kondisinya baik-baik saja.

Ia masih berusaha menyibukkan diri membantu Lala dan Melody saat Dean mendekat dan menggoda Melody. Dean bahkan tidak canggung membelai punggung dan kepala wanita itu dengan mesra sambil sesekali tersenyum sumringah yang dibalas Melody dengan tawa renyah yang sangat cantik sekali membuat Adjani sempat terpaku melihat kebersamaan itu.

Melody yang secantik bidadari dan Dean yang setampan dewa.

Sementara dia, hanya seorang budak cacat yang berbau busuk yang kabur dari sirkus.

Saat Adjani tidak sengaja menjatuhkan sebuah mangkuk berisi air, barulah perhatian Dean tertuju ke arahnya. Gadis itu langsung salah tingkah dan segera berjongkok untuk mengambil mangkok yang jatuh saat mulut Dean mulai membuka.

"Kalian serius membiarkan dia ikut memasak?"

Melody yang masih berada dalam pelukan Dean mengangguk hingga membuat tangan pria itu seketika terlepas dari pinggangnya.

"Kupikir aku sebaiknya makan di bar. Jijik melihat gadis penyakitan menyentuh makanan yang akan aku makan."

Sambil memegang erat mangkok yang sebelumnya terjatuh, Adjani menahan rasa nyeri dalam dada lalu menyaksikan Dean berjalan cepat meninggalkan mereka bertiga. Melody kemudian tanpa ragu menyusul lalu bicara sesuatu yang sedikit banyak bisa didengar oleh Adjani yang kini berusaha tersenyum pada Lala yang sudah mendekat ke arahnya.

"Jangan dipikirkan, sebelumnya dia tidak pernah begitu." Lala membelai bahu Adjani yang mengangguk mendengar kalimat yang meluncur lembut dari bibir cantik milik Lala.

"Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa." Adjani berusaha tersenyum. Sepertinya ia mulai menerima melihat sikap ketus Dean. Sebelum ini, bukan hanya pria itu yang bersikap seperti apa yang telah dia lakukan. Masih mending Dean hanya jijik melihat Adjani, biasanya orang-orang tidak akan ragu melemparinya dengan batu atau sesuatu yang bisa membuatnya pergi.

Adjani meneguk ludah dengan menahan rasa ngilu di dada saat ia sadar akan sesuatu, apakah ia harus pergi dari sana? Tapi ia tidak tahu jalan ke Suaka. Kalau dia dan Shield berjalan berdua, apakah orang-orang akan membantu menunjukkan jalan kepadanya?

Lebih dari separuh hidup ia habiskan dalam sirkus. Ia bahkan hampir tidak bisa membedakan mana arah utara ataupun selatan.

"Hei, kamu kelihatan pucat. Pergilah beristirahat dalam kereta. Lukamu benar-benar parah. Aku bisa melakukan semuanya sendiri." Suara Lala menyadarkan Adjani kembali pada kenyataan. Ia mengangguk pelan lalu mengembalikan mangkuk yang berada dalam pegangannya ke atas meja kayu yang sebelum ini disiapkan oleh Aire dan Dean untuk tempat mereka makan.

Segera setelah memastikan Lala kembali sibuk dengan urusan masak, Adjani berjalan pelan menjauhi kereta, menuju ke arah padang rumput yang berada tidak jauh dari danau dengan Shield mengekori dari belakang.

Nona, kamu tidak memutuskan untuk lari, kan?

Shield yang mengekori Adjani dari belakang dengan cepat menyusul dan menaiki pundak gadis itu.

Adjani menggeleng dan terus berjalan tanpa peduli sebelum ini Lala memintanya beristirahat. Dia takut apabila terlelap dalam kereta, Dean yang tiba-tiba saja masuk akan menemukannya, lalu bukan tidak mungkin pria itu akan marah.

A Zero DestinyOnde as histórias ganham vida. Descobre agora