“Kenapa?” Jungkook balik bertanya.

“Jawab saja. Aku hanya ingin tahu,” kata Taehyung. “Apa itu pemberian seseorang?” Dia menatap Jungkook harap-harap. Semoga pemuda itu mengatakan tidak. Akan tetapi Jungkook menyumpit sosis di nampannya dan dengan santai menjawab, “Bukan siapa-siapa. Itu hadiah ulang tahun dari ibuku.”

Jungkook terus melanjutkan makannya seolah itu bukan hal penting, tanpa tahu diamnya Taehyung di sebelah karena dihinggapi perasaan bersalah. Benar kata Hyungsik, jam itu pemberian seseorang—yang ternyata memang dari orang yang spesial, yaitu ibu Jungkook.

Gawat, pikir Taehyung.

Lain lagi jika dilihat dari sudut pandang Jungkook.

Jam tangan Jungkook memang merupakan kado ulang tahun dari sang ibu pada September tahun lalu, tapi nyonya Jeon adalah ibu yang lain dari orang tua lainnya, yang mana selalu memberikan jam tangan sebagai kado untuk dua putranya di tiap tahun—alasannya, agar mereka selalu menghargai waktu. Arloji itu hilang, tapi Jungkook masih punya belasan arloji pemberian ibunya di rumah dengan harga masing-masing yang tak jauh mencengangkan. Jadi, bagi Jungkook itu memang bukan perkara besar.

Namun tidak bagi Taehyung. Di mata pemuda yang satu ini, hal tersebut amatlah penting, lebih berarti dan lebih dari sekedar masalah sepele.

Ketika Yuta di ujung meja mengoceh tentang kegiatan akhir pekannya yang membosankan—yang sedikit banyak mendapat komentar serta ejekan dari Jimin dan Seungcheol—Taehyung justru mengabaikannya. Anak lelaki itu nyaris tidak berkata-kata sepanjang sepuluh menit keributan tersebut. Dia berniat menanggapinya, benar-benar ingin meledek Yuta dan ikut-ikutan menertawai, tapi dia masih bingung karena Jeon Jungkook dan mendadak saja dia capek meladeni lelucon di sekelilingnya. Ada hal lain yang lebih mengusik.

Yang betul-betul Taehyung ingin lakukan adalah mengusir perasaan bersalahnya, tapi dia tidak tahu caranya meminta maaf. Harga dirinya terlampau tinggi. Rasa bersalah tak cukup mendorongnya untuk mengaku salah secara jujur di hadapan Jungkook—sekalipun untuk persoalan sesederhana—dan dia kesal sendiri karenanya. Dari dulu selalu begitu. Taehyung memang kerap mempersoalkan hal-hal kecil di depan mata.

Mereka yang di sana tidak menyadari raut menyesal samar di wajah Taehyung saat itu. Sudah pasti. Sebab jika begitu yang terjadi, tentu ketika di kelas Taehyung mengumumkan niatnya untuk membolos pada jam pelajaran terakhir, teman-temannya niscaya akan mencegah. Pada hari tersebut Taehyung ingin lari dari dirinya sendiri dan bersembunyi. Dia hendak melampiaskan kegelisahannya dan kembali menjadi si berandal pembuat masalah. Dia menyisihkan nasihat dalam kepalanya—yang mengatakan tidak serta mengingatkan bahwa dia sudah membuat janji kepada ibunya serta diri sendiri-—dan mengabaikannya.

Empat murid laki-laki itu kemudian menyelinap keluar dengan memanjat tembok belakang sekolah pada dua jam pelajaran terakhir. Daftar kegiatannya, pergi ke game center, tempat karaoke, bersantap di kedai makan pinggir jalan dan menghajar anak-anak sekolah lain.

Pada akhirnya, Taehyung mengingkari semua janji yang dibuatnya pada sang ibu. Bagaimanapun dia sedang mencari pelarian, dia ingin memukul seseorang, sedangkan peluang-peluang terhampar di hadapannya. Taehyung tidak peduli. Lagipula, terpenting mereka sungguh bersenang-senang dan banyak tertawa.

Alhasil malam harinya, Taehyung mesti membujuk-bujuk Mark dengan segala macam rayuan dan mengendap-endap ke kamar untuk tidur lebih cepat supaya sang ibu tidak mengetahui kenakalannya hari ini.

Yang tidak diketahui, hari itu Jung Suyeon si guru kimia yang dibenci sebagian besar murid mengadakan kuis dadakan di kelas 2-4. Mereka yang tidak hadir dijadwalkan mengikuti ulangan susulan minggu depan, tapi tentu akan mendapatkan pengurangan nilai.

Unlimited | BTS KookV [COMPLETE]Where stories live. Discover now