Gerakan tangan Dokter itu terhenti, "mau saya bius lagi?" tanyanya.

El menggeleng. Terlambat. Dia sudah merasakan sakitnya, jadi dilanjutkan saja hingga akhir.

Sang Dokter menarik benang tersebut secara perlahan.

Alvano yang semula bersandar dengan nyaman, kini memajukan tubuhnya untuk melihat lebih dekat.

El meliriknya malas, dibalas dengan kedua alis Vano yang dinaik-naikkan, membuat pemuda cokelat itu memutar kedua bola matanya.

Pria di depan mereka hanya tersenyum kecil melihatnya. Saat benang sudah terangkat semua, luka kembali dibersihkan. Lalu, diberi plester untuk melindungi luka selama daya tahan kulit berangsur pulih.

"Lukanya masih belum boleh kena air ya. Jadi, hati-hati. Tunggu sampai hari keempat belas ke atas baru boleh," ujar Dokter tersebut.

El mengangguk patuh dan menatap telapak tangannya.

"Lo mau langsung balik atau mau mampir dulu? Mau makan? Laper ngga?" tanya Vano.

El menggeleng, "gue mau pulang."

Vano mencebik, "yodah, ayo."

Mereka beranjak berdiri. El membungkukkan badannya sedikit, "terima kasih banyak, Dokter."

"Sama-sama. Lain kali hati-hati ya."

El mengangguk. Ingin segera melangkah keluar, tapi tidak bisa karena Vano diam menghalang jalannya.

"Ayah hari ini ngga pulang lagi?" tanya pemuda tinggi itu.

"Ah, Ayah masih sibuk. Jadi, masih belum tau hari ini bisa pulang atau ngga," ujar pria itu dengan sorot menyesal, "bilangin Ibu kamu, Ayah minta maaf ya?"

Vano berdecak, dan melangkah keluar dengan kesal. Sebal karena Ayahnya tak kunjung pulang. Memang sih, itu semua karena dia harus merawat banyak orang. Tapi, keluarganya sendiri bagaimana?

El tetap diam. Tak berniat untuk ikut campur. Jadi, dia hanya mengekori Vano seperti anak baik. Naik ke atas motornya tanpa protes sama sekali. Tau kalau mood Vano sedang turun karena Ayahnya.

Pemuda besar itu benar-benar langsung mengantarnya pulang. Begitu sampai di depan gedung apartemen tua itu, El turun.

"Makasih," gumam El pelan, "berarti setelah ini, lo ngga perlu ke tempat gue lagi."

Mendengar itu, sontak membuat Vano mengerutkan dahinya, "kenapa?"

Sebelah alis El terangkat, "urusan kita udah selesai," ujarnya sambil menunjukkan telapak tangannya yang terplester.

Alvano terdiam. Ah, benar juga. Selama sepuluh hari ini, dia ke apartemen El kan untuk memastikan luka di telapak tangan itu baik-baik saja, dan agar pemuda kecil itu terus menjaga kesehatannya supaya cepat sembuh. Jadi, karena jahitannya sudah dilepas, mereka selesai? Hubungan mereka hanya sampai di sini?

Benar-benar selesai?

Sungguh?

"Udara makin panas. Lo balik sana," ujar El. Ia berbalik agar segera masuk ke dalam bangunan tua itu, karena cuaca semakin membakar kulitnya.

Alvano tak beranjak. Ia menatap punggung kecil itu dalam diam. Dia... tidak rela jika mereka benar-benar hanya sampai di sini. Bahkan, Vano belum memulai apapun.

El menoleh. Dahinya berkerut saat melihat si besar itu tak bergerak dari posisinya. Tangannya ke atas dan mengibas. Mengusir.

"Pulang sana!" usir El.

Vano mendengus, "gue... gue masih mau main ke tempat lo."

El menghela napas, "gue sibuk. Ngga ada waktu buat main sama lo."

Happiness [SELESAI] ✔Where stories live. Discover now