Prolog

9.3K 869 28
                                    

Ketika kanak-kakak, oleh teman-teman sekolahnya Anin biasa dipanggil Papua. Hanya karena Anin berkulit gelap, kurus, tinggi, dan berambut kusut sulit diatur. Anin juga dijauhi teman-teman sekelas, dijadikan bahan perundungan, sasaran kejahilan. Setiap Anin lewat, kata-kata tidak enak meluncur.

"Tidak boleh marah atau dendam dengan teman yang tidak baik, tidak apa-apa diejek. Tidak usah disangkal apa pun perkataan orang, kadang omongan itu pasti ada benarnya. Anin dipanggil Papua karena memang warna kulit Anin lebih gelap dari teman-teman lainnya, berarti mereka ada benarnya."

Anin tampak berpikir sembari tangannya sibuk menghalau air mata yang mengalir di pipinya yang cekung. Yang dikatakan Ratna, bundanya benar, secara fisik ia memang berbeda dengan teman-teman dan anggota keluarga lainnya. Anin berkulit gelap dan berambut keriting, sementara bunda, ayah serta kedua kakaknya berkulit terang dengan rambut lurus tebal. Kakak pertamanya, Sekar, bahkan memiliki rambut yang mengikal mayang, indah sekali. Pun dengan wajah, tidak ada kesamaan antara Anin dengan kakak-kakaknya, padahal Sekar dan Garin memiliki hidung dan bibir tipis yang sangat mirip.

Selain perbedaan fisik, jarak usia mereka juga sangat jauh. Sekar dan Garin sudah sangat dewasa, sementara Anin begitu belia. Ratna juga sudah memiliki satu orang cucu dari Sekar, Nila namanya. Usianya bahkan lebih tua dua bulan dari Anin.

Meski begitu, Anin tidak pernah menghiraukan perbedaan tersebut, hingga usianya genap delapan tahun ia memberanikan diri bertanya pada Ratna. Saat itu Anin sangat tertekan, teman-teman sekolah mengoloknya. Yang melakukan perundungan kebanyakan anak lelaki, tetapi Rawi dan Nila termasuk di antaranya. Bahkan keponakannya itu menjadi yang paling semangat merundung Anin di sekolah.

"Rawi jahat! Sekarang tidak mau main lagi dengan Anin."

"Tidak main dengan Rawi, Anin masih bisa main dengan Nila. Kalian satu kelas, kan?"

"Justru gara-gara Nila, Rawi jadi ikutan panggil Papua."

Rawi menjadi satu-satunya teman yang dimiliki Anin. Selain sekolah di SD yang sama, rumah mereka juga tidak berjauhan. Hanya saja temannya itu menempati rumah besar yang terletak di deretan depan. Rawi berkulit putih, cantik, dan anak orang kaya. Sepulang sekolah mereka kerap bersepeda keliling komplek, bermain bersama hingga terdengar adzan Maghrib. Namun sejak Nila pindah rumah ke dekat rumah Ratna dan sekolah di SD yang sama dengan Anin, Rawi tiba-tiba menjauh tidak mau berteman. Sahabatnya itu bahkan sekarang ikut mengolok-olok. Padahal dulu Rawi paling berani membantu Anin menghadapi teman-teman yang merundung.

"Sabar, teman yang lain masih banyak. Lagian Anin masih bisa bermain dengan Bunda." Mengetahui putrinya pulang sekolah dalam keadaan menangis Ratna segera merangkul Anin dengan sayang.

Ratna sedih Anin di-bully, apalagi cucunya ikut memprovokasi Rawi untuk berbuat tidak baik pada Anin. Ratna mengerti kalau anak perempuan lebih komplek pertemanannya, banyak dramanya. Harusnya anak-anak belajar berempati, berada di posisi yang dirundung.

"Mereka hanya iri dan ingin menyakitimu," hibur Ratna sembari tersenyum memberi semangat.

Kepala Anin terangkat, mata jernih berairnya menatap Ratna dengan wajah penuh kesedihan. "Mereka bilang Anin anak pungut."

Anin masih ingat bagaimana reaksi bundanya saat itu, Ratna terdiam cukup lama, tangannya terlihat agak bergetar. Wajahnya begitu pucat dan nelangsa.

"Anin tidak perlu sedih. Omongan teman-temanmu tidak benar. Anin anak Bunda, kesayangan Mbak Sekar dan Mas Garin."

"Ayah sayang Anin juga, Bun?" tanya Anin sambil menatap Ratna.

Pak Kurdi meninggal saat Anin berusia lima tahun, seorang PNS di sebuah kementerian. Dengan usia sekecil itu tidak banyak yang Anin ingat dari Pak Kurdi, namun ia tahu bahwa ayahnya jarang bicara kecuali perlu. Anin lebih mengenal sosoknya dari foto-foto di dinding rumah dan dari cerita Ratna.

"Tentu saja Ayah sayang Anin. Kita semua sayang Anin," jawab Ratna tegas. Anin menyeka air mata, wajahnya tidak sesedih tadi. Ia percaya apa yang dikatakan Ratna.

Ratna mengusap kepala Anin, menimbang-nimbang mencari kata-kata yang tepat agar putrinya mengerti. "Kita tidak bisa mengatur mulut orang untuk berbicara tentang kita seperti yang kita inginkan. Tetapi yang bisa kita atur adalah pikiran kita, hati kita agar jangan seperti mereka."

Mata jernih Anin berbinar menatap Ratna. "Benar juga ya, Bun," seru Anin mengangguk tersenyum.

"Teman-temanmu itu tidak lebih baik. Tidak lebih pintar, tidak juga lebih ganteng atau cantik. Kaya? Standar-standar saja. Lalu, apa kelebihannya darimu? Apa yang membuat mereka tega mem-bully-mu yang tidak punya daya?"

Ratna terus menyemangati Anin agar kuat. Lama Ratna mengobati Anin dari tekanan psikis akibat perlakuan buruk teman-temannya. Selain pertolongan Allah, dukungan kuat Ratna berhasil membantu Anin melewati masa kecil yang suram. Di mata guru Anin istimewa, sering dapat pujian di kelas. Entah karena sikap, bacaan Qur'an atau nilai-nilai pelajarannya, setiap ambil raport banyak puja-puji terlontar dari gurunya. Itu saja yang sering Ratna sampaikan, bahwa Anin punya kelebihan yang kawan-kawannya tidak punya. Mengambil sisi positifnya, semua itu mungkin yang menjadi balancing Anin bisa bertahan, mengantarkan keteguhan mental sedari kecil.

"Jangan kecil hati. Suatu saat kamu pasti bisa mengungguli dan berdamai dengan mereka yang dulu mengintimidasimu."

Ratna terus menyemangati Anin. Berkeyakinan dengan itu, Anin tumbuh menjadi anak yang percaya diri.

____The Last Child___

Hi, senang bisa kembali menulis. Semoga cerita baru saya ini bisa diterima pembaca semua. Diputar ya videonya, saya suka sekali mendengarkan Tulus. Gajah menjadi salah satu lagu favorit saya dari lagu-lagu Tulus lainnya. Lagu Gajah juga menjadi salah satu inspirasi saya untuk mengangkat tema ini.

Btw, mulai cerita ini, saya memakai nama yang dikasih orangtua, tetapi akun saya masih tetap yang dulu emifattah. Jadi nggak usah bingung, emifattah, Emi Widianingrum, atau Selena Gomez, podo! Orangnya sama, dia-dia juga. Thanks.

Emi Widianingrum
13/03/18

The Last ChildWhere stories live. Discover now