Bab 3

6 2 0
                                    


Pagi harinya, Andira menjalankan rutinitas seperti biasa. Sekolah. "Dir, aku mau ngomong sama kamu" ujar Novel. "Ya ngomong."

"aku gak suka sama Derian. Sumpah." Andira hanya diam. "Dir, ngomong dong. Aku gasuka kok sama Derian kamu sama dia aja gapapa. Apa perlu aku bantu biar kamu deket sama derian aku bisa bil-"

"gausah makasih" jawab Andira singkat lalu pergi keluar dari kelas. Sedangkan Novel, dia menghembus nafas berat. Perasaannya tidak enak. Di kantin Andira bertatap mata dengan Derian. Kali ini derian juga menatapnya. Meraka bertatapan kurang lebih 3 detik sebelum Derian memutus kontak mata dan tidak mengatakan satu kata pun. Kini Andira sudah tahu bahwa ternyata Novel tidak memiliki perasaan apapun terhadap Derian membuat Andira sedikit lega.

Ujian SMP semakin dekat membuat Andira sibuk dengan segala persiapan dan sudah tidak ada waktu memikirkan cinta. Walau kadang-kadang sekelibat nama Derian muncul di otak Andira namun Andira berhasil menepis pikiran itu jauh jauh. Kini ia mulai belajar mengikhlaskan apa yang tidak pernah bisa jadi miliknyaa walau rasa itu masih utuh tidak berkurang sehelaipun. Hingga disuatu sore kejadian yang tidak pernah Andira lupakan dan terus terngiang di kepalanya terjadi. Semua dimulai dari secercah ucapan yang mampu membalikkan dunia Andira.

Sore itu matahari sedang manis manisnya menampakkan dirinya. Tersenyum lebar menghangatkan bumi. Hingga siapapun ingin menghabiskan waktu bermain di luar menikmati hangatnya sang mentari. Begitupula dengan Andira. Ia ingin bermain-main sekitar kota untuk menghilangkan jenuh. Ia pergi ke pertunjukan musik klasik. Saat sedang asik asiknya menikmati musik, matanyaa menangkap sepasang perempuan dan laki-laki yang perawakannya dikenal oleh Andira. Mereka juga sedang menikmati musik ini. Yang cewek sedang memakan permen kapas sedangkan yang laki-laki memotret si perempuan yang sedang tertawa bahagia. Tawa mereka beradu padu membentuk melodi yang dibenci Andira. Mereka terlihat bahagia menikmati waktu berdua. Tanpa sadar mata Andira terasa perih dan berair. Ia melihat setiap inci kejadian tersebut tanpa berkedip. Melihat dua orang yang dikenalnya terkena kasmaran. Andira tersenyum pahit dan

Tes..

Air matanya berhasil lolos. Karena tak ingin dilihat orang banyak, Andira memutuskan meninggalkan tempat itu dan pergi berjalan menyusuri trotoar tanpa arah. Dadanya sesak, nafasnya berat, tangannya tanpa sadar telah mengepal dari tadi. Dan matanya merah berair. Dengan langkah sempoyongan ia menuju bangku taman kota. Disana ia duduk menunduk. Bahagianya sang mentari ternyata menjadi kabut pekat bagi Andira. Andira sudah menghabiskan setengah jam untuk duduk tanpa melakukan apapun di bangku taman itu. Kini saat nya ia pulang. Dengan menghapus sisa air matanya ia berjalan sempoyongan menuju rumahnya. Langit berubah menjadi suram dan mulai mengeluarkan air matanya. Namun Andira tidak ada niatan untuk mempercepat gerakannya. Biarlah air mata ini menyatu dengan air hujan. Biarlah perasaan ini mengalir bersama air hujan. Dan biarlah kesedihan ini hanyut bersama air hujan yang melebur menjadi satu dengan tanah. Langkahnya terhenti saat ia berada di depan cafe yang sama pada saat ia bertemu dengan Novel kemarin. Saat itu situasinya juga sedang hujan. Andira mengurungkan niatnya pulang ke rumah. Ia memasuki cafe itu duduk di tempat pinggir jendela. Tempat yang sama yang dulu ia pakai duduk. Itu memang spot favoritnya.

"Permisi mbak, mau pesan apa?" Andira tersenyum kecil sambil menjawab, "Hot dark coffenya satu sama strawberry cake nya satu" Ia sengaja memesan minuman yang bahkan tak disukainya karena ia hanya ingin merasakan kepahitan dari perasaanya larut bersama kepahitan kopi hitam. Andira melampiaskannya pada secangkir kopi hitam yang sangat dibencinya.

"Sudah, tidak ada lagi? Kalau begitu tunggu sebentar kami siapkan" Andira hanya merespon dengan senyuman. Ia mengeluarkan selembar kertas dan bolpoin. Menggoreskan tinta diatasnya.

Dan ketika matahari tersenyum, aku menangis

Ketika sinar matamu tak dapat ku miliki, aku harus merelakan

Kata orang cinta itu indah.

Lantas, jika aku yang terus menelan pahit apakah bisa disebut cinta?

Dan teman? Bukankah ia yang paling setia mendengar ceritamu?

Ataukah ia yang paling bisa menancap pedang lebih dalam ke perutmu?

Teka-teki macam apa yang sedang Tuhan permainkan?

Dimana semua peran di balik porandakkan olehNya

Dan bisakah kau ceritakan kepadaku,

Tentang kisah bagaimana matahari mencintai bulan?

Dia mati tiap malam untuk membiarkan sang rembulan tetap bersinar

Bisakah kau liat mataku layaknya pintu yang terbuka?

Membawamu jauh ke sanubariku tempatku jadi lumpuh tak bernyawa

Jiwaku tertidur disuatu tempat beku dan kau menemukannya

Namun tak membawanya pulang dan dengan senang hati kau membakarnya sampai habis menjadi abu dan tak tersisa lagi.

Andira meletakkan bolpoinnya. Merenung sejenak atas apa yang menimpanya. Teman dekatnya sudah berhubungan dengan orang yang ia sukai selama 3 tahun. 3 tahun penantian yang tidak sebentar dan dari awal ia tahu bahwa ini akan menjadi sia-sia. Lantas yang harus ia lakukan sekarang ialah mengikhlaskan.

Tidak.

Andira tidak melupakan. Karena bagaimana pun caranya, sekeras apapun usahanya kalau ia melupakan, ia takkan pernah bisa. Terlalu banyak kejadian yang masih tertata rapih di memory Andira tentang Derian. Dan ia tak mau membongkarnya lagi. Sebab kenangan tak pernah bisa dihilangkan. Apalagi kenangan indah. Benar bukan? Ia hanya perlu mengikhlaskan. Ia tak boleh gegabah. Menyingkirkan egonya sejenak. Bukankah syarat mencintai itu ikhlas? Jika kita mencintai jangan berharap dicintai balik. Karena cinta tidak mengenal pamrih seperti itu. Dan Andira mencoba melakukannya meski perih.

Ting..

Bunyi bel pertanda ada seseorang yang masuk ke dalam cafe.

"Mbak, ini pesanannya" Andira menoleh tersenyum hangat kepada pelayan cafe. "Oh ya Makasih mbak,"

"Ra,"

Andira menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Seketika tubuhnya menjadi kaku. "Gimana kabar mu Ra?" Andira tersentak.

Derian.

Bukankah harusnya orang itu menyaksikan musik klasik bersama Novel dan bercanda tawa memakan permen kapas?

Ia memaksakan senyum tipis di bibir mungilnya. "Baik. Kamu De?" Lalu seketika itu juga Andira merutuki dirinya sendiri. Lihatlah tanda tanya itu. Jurang antara keinginan dan kebodohanku ku untuk memilikimu sekali lagi.

.

.

.

End.

Rain and tears (short story)Where stories live. Discover now