1. Ujian Hidup

68.2K 1.9K 134
                                    

"Pacar kamu pagi-pagi udah semangat aja seperti biasa ya, Llo?" kekeh pria gagah yang tak lain Ayah Zillo— ketika mendapati putranya menuruni tangga berjalan ke arahnya yang tengah duduk di sofa.

Zillo mendengus, memutar tubuhnya menduduki sofa lain di ruangan itu dengan sepatu yang dia bawa untuk dipakai.

"Apaan sih, Yah. Amit-amit deh Zillo punya pacar kayak bocah itu. Mending jomblo seumur hidup dari pada sama manusia toa kayak dia!"

Sang Ayah yang mendengar penuturan putranya itu menggelengkan kepala dengan kekehan di balik koran paginya, tetap berujar meski matanya serius membaca deretan kata yang tertera di halaman yang beliau baca. "Hati-hati ngomong kayak gitu, nanti kamu malah beneran ada hati sama anak kesayangan Om Jefan itu loh."

Zillo menghentikan gerakannya mengikat tali sepatu, menaikan pandangan ke tempat Ayah berada dengan mata menyipit enggan. "Nggak gitu juga, Yah. Ayah kan tahu sendiri semerepotkan apa dia itu, memang Ayah mau setiap hari Zillo diteriakin biar bangun? Yang ada Zillo budek beneran lama-lama."

Bahu Ayah mengendik acuh, "Itu solusi yang keren kok, Bunda kamu jadi nggak harus ribut setiap hari karena kamu ancurin jam waker-mu terus-terusan."

"Ayah..." Zillo tahu dirinya lumayan susah dibangunkan, dan benar juga kata Ayah soal jam waker yang rusak hampir setiap hari jika tidak ada terikan Nadi yang membangunkannya, tapi kan tidak seperti itu juga solusinya.

"Bunda juga nggak keberatan. Nadi manis dan baik meski agak tomboy, lebih lagi dia anak sahabatnya Bunda. Bunda kan jadi nggak harus repot-repot dan jauh-jauh kalau mau besanan." Bunda masuk dari arah dapur, membawakan secangkir kopi pagi yang diletakannya di depan Ayah.

"Bunda!"

Ya ampun, Zillo bahkan masih duduk di bangku SMA—apalagi Nadi yang baru menanggalkan seragam putih-birunya. Kenapa pula harus membahas sejauh itu sampai kata "besan" masuk ke dalam pembicaraan. Dan yang lebih menyebalkannya lagi, kenapa semua orang seolah berada dipihak bocah upil itu sih?

"Loh, kenapa? Yang Bunda bilang bener, kan?"

"Ck, pagi-pagi udah ngomongin dia. Ngerusak mood Zillo aja yang ada." Cowok itu berdiri, persis setelah menyelesaikan pekerjaannya memasang dan menalikan sepatu olahraga yang sempat terjeda beberapa kali karena pembicaraan mengenai anak tetangganya itu.

"Zillo jogging dulu." Pamit cowok itu kemudian berlalu tanpa mau menghiraukan entah apa lagi yang orangtuanya katakan.

***

"Pagi, Yayang Illo..." Sapaan penuh dengan nada rayuan itu Zillo dengar setelah beberapa meter dirinya meninggalkan rumah. Dan seperti sudah menjadi rutinitas juga, jogging paginya pasti tidak akan pernah tenang selama orang ini selalu ada di sekitarnya.

Yup, Nadira sudah berlari di sampingnya, lengkap dengan pakaian olahraga juga sepatu yang cewek itu pakai. Nadi tersenyum dengan deretan gigi yang sepenuhnya terlihat, tampak terpesona dengan pria yang berada di sampingnya.

"Lo bisa kesandung kalau mata lo nggak lihat ke depan!"

Bukannya sadar karena diperingati, cewek itu malah terlihat tersipu dengan kata-kata yang Zillo tujukan untuknya. Nadi menunduk malu-malu, menyelipkan helaian rambutnya yang mengganggu ke belakang telinga—sebenarnya helaian rambut yang mengganggu itu tidak benar-benar ada, karena cewek itu jelas mengikat rambut sebahunya menjadi kuncir kuda.

"Mimpi apa Nadi semalem, ya? Pagi-pagi gini udah berkali-kali dikhawatirin Yayang Illo..." Kekehnya masih dalam kondisi menunduk, menutup mulutnya untuk tidak terlalu terlihat senang meski Zillo masih bisa melihat dan mendengar ucapannya dengan jelas.

Hey! You! [TRILOGI "YOU" BOOK 1]Where stories live. Discover now