TUJUH BELAS

6.5K 559 17
                                    

Sudah hampir satu jam lebih, Wirya berdiam diri di dalam mobil, tidak sedikit pun berniat keluar. Bahkan, tak ada keinginan darinya bergabung di acara makan, malam ini. Wirya hendak pulang. Namun, tidak mungkin baginya meninggalkan Laksmi. Dan, sangat enggan juga menyusul ke restoran. Terlebih, sang ibu ada di sana.

Wirya sama sekali tak menduga jika adik bungsunya akan memiliki rencana ataupun mengadakan pertemuan yang paling ia dihindari sekarang ini.

Sebenarnya, Wirya tak mau bersikap durhaka kepada ibu atau ayahnya. Dan, tatkala pria itu teringat kembali akan semua perlakuan buruk ibunya.

Amarah Wirya pasti tak mudah dibendung. Daripada mengulang perdebatan sengit, lebih baik dirinya dan sang ibu tak saling bertatap muka sementara waktu. Jalan terbaik menurutnya.

"Bli, kenapa belum masuk juga? Aku sudah pesankan steak dan pasta favorit Kakak di dalam ruang VIP."

Pandangan Wirya yang awalnya hanya lurus terarah ke depan, langsung dipindahkan. Memerhatikan sosok dari adik perempuan bungsunya yang menengok melalui jendela pintu mobil. Wirya memilih untuk tetap tak turun dari kendaraan roda empatnya.

Pria itu tidak mampu memerlihatkan senyuman, kala adiknya bertanya demikian. Ia kemudian dibuat cukup kaget karena baru sadar jika sang putri tak bersama Dahayu. Pikiran buruk seketika menghampiri Wirya. "Laksmi di mana?" Wirya cepat-cepat mengonfirmasi keberadaan buah hati kesayangannya.

"Laksmi sama Ibu dan Yudistira masih di dalam, Bli. Lagi makan," beri tahu Dahayu. "Laksmi diterima baik Ibu, Bli. Aku juga lihat Laksmi senang banget bertemu neneknya."

Wirya tahu bahwa adiknya itu tidak akan bisa berbohong. Hanya saja, belum mudah baginya memercayai sikap dari sang ibu. Wirya mengenali benar bagaimana watak ibunya. Laksmi mungkin tak akan disakiti secara fisik. Wirya masih ragu sang ibu dapat menyayangi tulus putri kecilnya.

"Jangan ajak Laksmi lama-lama di dalam. Kalau sudah selesai makan, bawa dia ke sini. Bli akan pulang 30 menit lagi," pinta Wirya dan tentu berharap adiknya bisa mengerti.

"Iya. Tapi, Bli jangan tunggu di mobil. Coba ikut masuk ke dalam denganku, Bli," balas Dahayu serta berupayaterus membujuk sang kakak agar mau berubah pikiran.

"Tidak, Dik. Bli akan diam di sini. Bli belum mau bertemu Ibu. Kakak menghindari pertengkaran."

Dahayu mengembuskan napas jengah, tak melepaskan tatapan dari sosok sang kakak sulung. "Sampai kapan keluarga kita ini harus hancur, Bli? Kenapa semua terus egois dan tidak mau mengalah? Apa tidak ada toleransi dan memaafkan?"

"Sebagai keluarga kita semua ini wajib bersatu. Memaafkan kesalahan yang pernah dilakukan. Apa Bli Wirya tidak mau mencoba memperbaiki hubungan dengan Ibu dan juga Ayah lagi?"

...........................................................................................

Ekspresi senang belum menghilang dari wajah Laksmi yang imut. Suasana hati batita perempuan itu pun sedang tidak buruk sama sekali, namun begitu gembira akan pertemuan perdana dengan nenek kandungnya malam ini.

Ditambah lagi ada saudara sepupunya yang menemani. Laksmi kian bertambah senang. Jika sudah begini, batita itu tak akan mengingat ayah atau sang ibu yang saat ini tengah tidak berada satu tempat bersamanya.

"Mauu," ujar Laksmi antusias seraya menunjuk dengan jari telunjuk tangan kanannya ke arah beberapa butir telur ayam yang telah direbus dan tersaji rapi di sebuah piring, di atas meja ruang VIP restoran bersama makanan lain.

"Laksmi mau ini?" tanya Ibu Ratna lembut.

Anggukan kepala cepat dilakukan oleh Laksmi, tatkala sang nenek dapat mengerti apa yang sedang ingin dimakannya. "Iyahh," jawab batita itu bersemangat.

Laksmi segera membuka mulut karena neneknya yang hendak menyuapi potongan telur ayam dalam ukuran tak terlalu besar. Setelah salah satu makanan favoritnya masuk sempurna, maka dapat langsung memberikan sensasi rasa yang sangat lezat.

"Enakkk." Laksmi menyerukan satu patah kata yang mewakili rasa sukanya akan telur rebus, terutama bagian yang kuning. Acungan jempol juga Laksmi perlihatkan ke neneknya.

Alhasil, Ibu Ratna tidak bisa untuk tak tertawa, terlebih lagi melebarkan senyuman tulus pada cucu perempuan beliau yang memiliki sifat lucu itu. Ibu Ratna pun diselimuti kebahagiaan. Ketulusan beliau terpancar nyata saat mengecup begitu sayang pucuk kepala Laksmi yang dilakukan cukup lama.

"Nini, Yudis juga mau maem," cicit Yudistira dengan tak sabaran karena melihat adik sepupunya yang masih saja lahap mengunyah telur di dalam mulut.

"Yudis mau maem seperti yang Laksmi makan?" Ibu Ratna bertanya ulang, tak terlalu paham permintaan cucu beliau.

Yudistira menganggukkan kepalanya. Dan, tidak butuh waktu bagi batita laki-laki itu untuk menerima suapan dari sang nenek. Yudistira lalu mengunyah makanan di dalam mulutnya lahap nan enak. Batita laki-laki itu juga akan menyukai sajian telur.

"Terima kasih, Nini," ujar Yudistira senang seraya tunjukkan senyum yang lebar ke arah adik sepupunya.

"Terimah kasih, Ninikk." Laksmi langsung mengikuti beberapa patah kata yang tadi diluncurkan saudaranya itu.

"Laksmi mau panggilnya Nenek atau Nini?" tanya Ibu Ratna, kala cucu perempuan beliau menatap cukup intens dengan sorot yang polos dan juga lugu.

"Ninik...Nenek...," Laksmi terus memerlihatkan sikap yang lucu untuk mengajak neneknya bercanda.

"Pintar cucu Nini yang satu ini. Laksmi sudah semakin lancar bicara juga. Nini bangga," puji Ibu Ratna secara tulus. Beliau tidak akan dapat menaruh rasa benci pada sosok kecil sang cucu, dimana ada ikatan darah di antara mereka.

"Pintar...pintar." Laksmi kembali gumamkan sepatah kata yang neneknya ucapkan barusan. Batita itu turut bertepuk tangan beberapa kali.

Ibu Ratna tak mampu tahan tawa beliau menyaksikan ekspresi yang menggemaskan dari cucu beliau itu. Akan tetapi, hal tersebut hanya berlangsung singkat. Karena, tatkala pintu ruangan VIP dibuka dan berdirilah putra sulung beliau. Maka, Ibu Ratna seketika mengambil sikap dingin.

"Kamu masih berani datang kemari? Saya tidak pernah mengundang kamu ke sini, Wirya," ujar Ibu Ratna sarkasme.

"Papaaa ...," Laksmi serukan panggilan dengan nada senang, manakala melihat sosok sang ayah.

..................................... 

Good Papa, Bad HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang