“Tumben kamu bijak,” kataku mengecupi rahangnya. Menariknya ke pangkuan.

“Kalo Kak Dhina liat dia bisa heboh,” ucap Dhini tapi nggak menghentikan aksiku. “Bentar lagi Bapak pulang ngajar,” imbuhnya lagi, tapi malah membalas pangutanku yang beralih ke bibirnya.

Aku merasa dia adalah utuh milikku saat dalam posisi memangku dengan kepala menyuruk ke lehernya, perasaan intim yang ingin kulakukan setiap saat. Baru kusadari satu hal, aku butuh Dhini untuk menyeimbangkan caraku berpikir.

Dhini menarik wajahnya. “Iya, soalnya aku jadi mikir juga. Inget-inget lagi guru agama ceramah pas ngaji. Kan memang gitu Ji, semuanya udah digariskan. Kamu mau korek-korek kuburan anak itu sambil sujud-sujud minta maaf juga nggak ada gunanya kan? Manusia memang diciptakan untuk lalai, dan belajar dari kelalaiannya.”

Sejujurnya, aku nggak mau ingat-ingat lagi. Bayangan anak kecil berlari tepat di depan mobil yang kukendarai disertai deritan ban dan tubuh yang terpental jauh membuat kepalaku berputar-putar. Rasa bersalah yang sulit dihilangkan dalam hitungan jam. Tapi, yang dikatakan Dhini semuanya benar. Aku yakin nggak akan menghilang dalam waktu singkat. Namun, Dhini, terlalu berharga untuk kutunjukkan sisi diriku yang lemah dihadapannya. Dan aku akan mencoba melupakan kejadian naas itu.

“Kamu cocok jadi ustadzah.”

“Ngeledek?” sunggut Dhini menyipit kesal.

Aku mempererat lingkaran lenganku di perut Dhini. “Nggak. Cara kamu ngingetin antimainstream. Jadi gampang di terima akal. Oh ya! Aku inget sesuatu—“

“Apa?” potongnya cepat.

“Kamu nggak bilang kalau kamu anterin papa makan siang. Papa yang cerita.”

Dhini mengulum habis bibirnya, semburat merah menghiasi pipinya. “Papa kamu ada cerita apa lagi?” tanyanya dengan mata binar, tersenyum malu-malu. “Dia nggak bilang aku mantu idaman gitu, Ji?”   

Salahkah aku gembira berada di situasi ini dengan Dhini dan mengabaikan musibah yang baru kualami kemarin? Jika boleh, maka saat ini senyum pun susah buat nggak terukir. “Nggak. Dia malah bilang kamu niat mau goda dia ya?”

“Ih!” seru Dhini langsung membeliakkan matanya. “Kalo liat harta sih iya aku lebih milih Papa kamu. Tapi... Ih... nggak-nggak. Serius papa kamu keganjenan gitu?”

Aku menyengir, mana mungkin papa ngomong gitu, dia malah cuma komen, “Bilangin Dhini nggak perlu repot-repot, nanti rumah makan Ibunya bangkrut. Papa lagi nggak makan minyak, dia setiap hari bawa rendang.”

Kalau aku bilang apa yang Papa katakan pasti Dhini malu, lebih parahnya lagi besok-besok dia jadi semakin antipati sama Papa, padahal aku tahu maksud Papa nggak gitu. Aku yang pengalaman hari-hari mendengar ucapan Papa yang sedikit tapi pedas, dan rata-rata pekerja yang bertahan dengan Papa adalah orang-orang yang sudah sangat mengerti tabiat Papa.

Hanya, kata terakhir Papa membuatku menyadari satu hal, dia tetaplah seorang Ayah. Yang punya sedikit kata nasihat, “Jangan drop hanya karena satu musibah, ada istrimu yang butuh pria kuat.”

“Kamu bohong kan?” tuding Dhini menyadarkan lamunanku. “Mana mungkin papa kamu bilang gitu kan? pas, aku dateng aja papa kamu cuma lirik-lirik tanya kabar Ibu-Bapak singkat, terus bilang terima kasih. Itu juga atas saran Ibu sih. Ibu bilang mumpung aku di Medan, jadi ada baiknya nyamperin mertua.”

Aku menatap Dhini dalam. Nggak akan kutemukan wanita lain seperti Dhini, dia komplit, mengisi seluruh akal pikiranku.

“Hm, iya, papa bilang makasih,”

Dhini menaikkan alisnya. “Cuma gitu aja?”

“Nggak ikhlas ngasih makanannya?”

Bibir Dhini langsung mengerucut. “Ikhlas lah...” lalu dia memicing. “Eh, Ji.”

Come Back HomeWhere stories live. Discover now