tiga belas

34.6K 4.4K 126
                                    

Aji POV

“Mau ambil nasi yang di buka kulkas! Mau ambil minum yang di buka rice cooker. Kamu tau Ji, parahnya, Kakak minta dibikinin teh buat Bang Gandi, eh dia bawa cangkir kosong! Istri kamu itu memang bener-bener... untung kamu nongol juga akhirnya, kalo lewat minggu ini, Kakak rencana ajak ke Haji Husein buat di Rukyah.”

Aku sama sekali nggak bisa tahan senyum saat Kak Dhina berbicara dengan gaya berlebihan, mungkin ini memang tabiat sekeluarga, tapi menyenangkan. Rame, lucu.   

Sementara Dhini menyembunyikan kepalanya di belakang bahuku. Berpura nggak mendengar ledekan Kak Dhina. Sementara di pangkuanku Nayla mengikuti Ibunya berceloteh.

“Hiya... sayang...” Kak Dhina menyahuti Nayla. “Bunda kacau banget ya kan... jelek... hiya?”

“Enak aja!” seru Dhini menarik wajahnya menyoroti tak terima. “Nay, Mama kamu tuh yang jelek. Cantiknya cuma ketolong sama lipstik.”

“Nih aku tanya ya. Ji, kalo nggak mandang, Dhini mau nyuci baju, nyuci piring, beres-beres rumah  dan sebagainya itu. Menurutmu dia cantik nggak?”

Pertanyaan sulit. Wajah Dhini sudah mendekat, hanya berjarak sekian senti, dengan mata setajam... silet kalah. “Jawab, cantik nggak?” tanyanya dengan nada penuh ancaman. “Kalo nggak jawab cantik, entar malem tidur diluar,” bisiknya.

Aku kontan tertawa. Tawa yang sedikit lepas. Setelah satu harian kemarin nggak keluar kamar, Dhini bahkan beralasan ke Ibu dan Bapak kalau aku sedang sakit karena kecapekan. Sementara Dhini menungguiku sambil menonton drama di laptopnya. Padahal biasanya dia paling berisik.

“Hmm... cantik.” Kataku. Dhini tersenyum semringah sementara Kak Dhina mencibir. “Kalau di rumah asrama. Iya. Dia paling cantik.”

Kak Dhina terbahak. “Ya jelaslah, nggak ada cewek lain.”

Dhini spontan melepaskan dekapan tangannya di lenganku dan beranjak, mengambil cangkir tehku yang telah kosong ke dapur.

“Hmm... ngambek tuh,” Kak Dhina mengambil Nayla yang menjulur-julurkan tangannya. “Eh, Ji. Kami minggu depan mau jalan-jalan ke Sabang. Mau ikut sekalian nggak? Tapi, ini bareng keluarganya Bang Gandi sih. Tadinya, niat mau traveling sendiri, eh, pada mau ikutan, ya udah.”

Aku terdiam sesaat. Jalan-jalan? “Aku nggak mungkin dapat libur. Tapi, kalau Dhini ingin ikut sendiri aku nggak masalah.”

“Nggak ah,” sahut Dhini langsung. “Bukan seneng-seneng malah kepikiran yang di rumah.”

“Iyaa... deh iya... yang udah punya suami sekarang.” Kak Dhina melenggang ke kamarnya. Nayla mulai rewel, sebentar lagi mungkin waktunya dia tidur siang.  

“Kamu masih kepikiran?”  Jangan kira Dhini akan melakukan aksi membelai-belai, yang ada dia kembali menyudutkan tangannya ke dadaku yang memar, membuatku menahan ringisan. “Musibah itu bisa terjadi kapan aja, Ji. Tadi pagi aku pancing-pancing Ibu, ngobrol gitu, katanya dulu pas awal-awal rumah tangga Ibu pernah ditipu orang, motornya dibawa kabur, terus gitu usahanya pernah bangkrut kehabisan modal. Mobil Bapak juga pernah nabrak pagar masjid.”

Dhini menghela napas. “Aku juga pernah nabrak kucing sampe mati, terus aku kuburin di belakang rumah. Intinya kita nggak pernah tau kan apa yang terjadi di depan kita. Cuma Yang Maha Kuasa yang bisa menentukan. Eh, si ini bakal mati ditabrak si Polan. Atau si Anu bakal sekarat nabrak tiang listrik.”

Aku mengerti maksud Dhini, sampai detik di mana aku bertemu kembali dengan Dhini, aku rasa perlahan ketakutanku mulai berkurang. Dhini, dia bahkan enggan mengorek soal tabrakan itu sehari pertama aku di sini. Mungkin, karena melihatku sudah agak biasa baru dia berani membahasnya lagi.

Come Back HomeKde žijí příběhy. Začni objevovat