Bab 10: Don't

2.1K 62 0
                                    


Rose's POV

Gue masih gak nyangka sekarang gue berada di Hawaii. Gue kira Ben akan mengajak gue keliling New York atau pergi ke mansionnya lagi. Lagian kok gue gak bangun sih waktu dia pindahin gue? Malu deh gue. Memangnya gue se- kebo itu apa? Eh tapi, kalau gue disini hanya berdua dengan Ben, kemana yang lain? 

"Lo gila ya? Kenapa kita ke Hawaii?" Tanya gue. 

"Bulan madu lah," jawab Ben santai.

 Bulan madu? Gila, gue aja gak kepikiran tentang bulan madu. Lagian kita juga dijodohin, apa perlu ada bulan madu di pernikahan ini? Aduh, tapi gue gak enak sama sahabat-sahabat gue dan Madelyn, Andrew, dan Zack. Ih, nyebelin banget sih si Ben. 

"Balikin gue ke New York," pinta gue. 

"Yakali sih, kita udah di Hawaii begini. Mendingan dinikmatin aja," jawab Ben. 

Tapi, gak sopan kalau ninggalin mereka yang ada di New York. Ah, gak tau lah. Pokoknya gue bete sama Ben. 

"Gue mau pulang," pintah gue lagi. 

"Rose, kita udah disini. Masa mau pulang lagi?" 

Iya juga sih. Lagian salah dia kenapa langsung bawa gue ke Hawaii tanpa kasih tau gue dulu? Dan sekarang gue harus terjebak dengan Ben, hanya berdua pula. Gue gak mood berbicara dengan Ben dan mengalihkan pandangan gue ke luar mobil.

 "Wah bagus ya!" teriak gue, keceplosan.

 Harusnya gue gak ngomong itu. Ya sudah lah, seperti kata Ben. Nikmati saja. Selama gue mengamati pulau ini, hanya satu kata yang dapat mendeskripsikannya, indah. Gue rasanya pengen tinggal disini jika sudah tua nanti. Tetapi dalam tahap untuk mencapai itu, pasti akan ada banyak hal yang terjadi. Ketakutan mulai memenuhi gue. Gue takut nanti benar-benar tidak ada cinta di pernikahan ini. Setelah memikirkan banyak hal, tak terasa sudah sampai di resort. Alex dan Ashley menurunkan barang-barang, sedangkan Ben mengajak gue jalan-jalan. 

"Rose, ada yang mau gue ngomongin sama lu," ucap Ben. 

Kenapa dia gak langsung ngomong aja? Kok gue deg-degan gini ya? 

"Gue agak gak enak ngomong ini sama lu," ucapnya lagi.

 Ah, sial. Dia bikin gue makin penasaran. 

"Gue gak tega bilang ini sama lu." 

"Udah sih, kasih tau aja," sela gue gak sabar. 

"Kita disini selama seminggu."

 Deg. Apa?! Hal itu sangat tidak penting. Dan dia berhasil membuat gue penasaran sangat. Dia mau nya apa sih? Nyebelin deh.

 "Lu apaan sih?! Itu informasi paling gak penting yang gue denger." 

"Ya lagian gue cuman bilang begitu kok lu marah? Kan gue takut lu pengen stay disini lebih lama dari itu."

 Gak salah sih. Tapi tetep aja. Dia udah bikin gue deg-degan kayak orang gila. Daripada gue di deket Ben, kerjaannya marah-marah terus. Lebih baik gue menikmati pantai dan angin sejuk yang gratis.

 "Eh, Rose, lo mau kemana?"

 Gue abaikan panggilan Ben, karena gue udah terlalu jengkel sama dia. Di belakang resort yang dipesan oleh Ben, terdapat pantai yang sangat indah. Gue berlari ke pantai itu dengan semangat. Sangking semangatnya, gue terjatuh. 

"Auuhhh, sakit," rengek gue. 

Terlihat darah mengucur keluar dari lutut gue.

"Ish, gue ceroboh banget."

 Ben datang dan melihat lutut gue yang berdarah. Ben menggendong gue ala bridal style menuju ke kamar kami. Dia mendudukkan gue di sofa kamar. Dia mengambil kotak P3K dan mulai mengobati luka gue. 

"Auuhhh, sakit Ben. Pelan-pelan dong." 

"Lo abisnya ceroboh banget. Gimana kalau gak ada gue tadi?" 

"Ya kan gue gak tau kalau gue bakalan jatuh." 

Ben gak jawab gue lagi dan meniupi luka gue yang sudah diobati. Sial, hati gue deg-degan lagi melihat dia yang peduli sama gue. 

"Ben," panggil gue. Dia menolehkan kepalanya. 

"Kenapa lo peduli sama gue? Lo kan bisa aja cuman lihatin gue atau suruh gue tanpa mengobati gue." 

Jujur saja, gue penasaran dan bingung dengan sikap Ben yang seperti ini. Satu menit hingga dua menit kemudian Ben tidak menjawab. 

"Gak usah jawab, gak jadi," ucap gue pada akhirnya dan berusaha bangkit berdiri. 

"Gue khawatir sama lo," jawab Ben. 

Gue kaget dengan jawaban Ben. Dan jantung gue berdetak tak karuan lagi. 

"Buat apa lo khawatir sama gue?" 

"Karna nyokap lu nitip lo ke gue." 

Benar juga. Gue mengharapkan jawaban apa? Jangan banyak berharap, Rose. Ben tak mungkin menyukaimu. 

"Lo mandi gih. Habis itu, kita bakal makan siang," suruh Ben, membuyarkan lamunan gue. 

Di dalam kamar mandi pun, gue tetap memikirkan hal tadi. Kenapa gue gak puas dengan jawaban Ben? Apa gue mengharapkan jawaban yang lain? Tidak! Gue gak boleh seperti ini. Gue harus rasa itu. Tok tok tok. 

"Udah belum?" Tanya Ben dari luar. 

"Sebentar lagi," jawab gue. 

Selama gue makan siang dan jalan-jalan bersama Ben, gue terus memikirkan itu. Gue takut jika gue jatuh cinta dengan Ben dan rasa gue tak terbalaskan. Pasti sedih rasanya. Gue gak mau merasakan hal seperti itu. 

"Rose, lo kenapa melamun terus?" Tanya Ben membuyarkan lamunan gue lagi. 

"Gak, mau kemana habis ini?" 

Ben menyentuh kening gue dengan cepat sebelum gue sempat untuk menghindar. 

"Badan lo anget. Lo sakit. Lo pusing?"

"Gak." 

"Ya udah, kita balik ke kamar aja." 

"Gak apa-apa, jalan-jalan aja." 

"No, lu harus istirahat." 

"Terus lu gimana?" 

"Ya gua mah gampang. Yang penting lo gak sakit dan istirahat dengan cukup." 

Hati gue merasakan hangat mendengar ucapan Ben. Tapi gimana? Dia berucap seperti itu karena orang tua gue nitipin gue ke dia. Pasti dia ngerasa gak enak kalau gue sakit. Tapi tetap saja, gue gak bisa menepis rasa hangat itu dari hati gue. 

Ben apakah gue mulai jatuh kepada lu?  

Mon Amour, RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang