2 | The Devil Inside Me

En başından başla
                                    

"He--hentikan..."

Rambutku dikumpulkan di satu sisi, lalu ia menyentaknya. "Aku tidak peduli. Biarkan suami tercintamu melihat betapa hebatnya aku menyetubuhimu."

"Hentikan, atau a--aku bersumpah akan membencimu."

Ancamanku ternyata berfungsi. Dalam sekejap Harry menghentikan aktifitasnya. Ia menarik diri sebelum menatapku datar. Ada sorot yang tidak bisa ku gambarkan dari mata itu. Marah? Kesal? Sedih? Mengapa di sepasang hijaunya begitu banyak berbagai macam perasaan? Kemudian ia mengambil pakaiannya, dan membanting pintu kamar mandi keras-keras. Akibatnya selama sepersekian detik aku hanya diam membeku.

"Angel? Harry? Kalian di mana?"

Aku berlari ke lantai atas dengan perasaan bergemuruh. Segera menyalakan shower, aku berniat membersihkan diri secepat kilat, tapi nyatanya justru aku termenung. Kakiku bergetar, begitupun dengan kedua tangan ini. Entah udara di sekitarku hilang kemana hingga aku teramat sesak. Dan perlahan aku pun membiarkan tangisanku menyatu dengan pancuran air.

Demi Tuhan, apa yang barusan kami lakukan?

-----

Satu bulan berlalu cepat. Aku kembali ke rutinitas sehari-hariku. Tak ada Harry, yang ada hanya laptop dan secangkir teh hangat di atas meja pantry. Sejak peristiwa di mana kami nyaris ketahuan bercinta, Harry seperti hilang di telan bumi. Biasanya setiap satu minggu sekali ia datang kemari. Entah sekedar berbincang dengan Harvey, ataupun mengajak kakaknya tersebut bermain golf bersama. Di setiap minggunya dalam jangka waktu dua tahun tersebut, Harry selalu menganggapku tidak ada. Ia terus mengabaikan obrolan singkatku, membuatku lama-kelamaan berhenti mengajaknya berbicara. Dan tiba-tiba di malam itu kami bercinta begitu hebat, seperti saling melepaskan kerinduan satu sama lain.

Tunggu, saling merindukan? Aku tertawa miris. Harry jelas sebatas memanfaatkan situasi untuk menggauliku. Ia hanya melepaskan hasrat seksualnya, dan kebetulan aku berada di sisinya. Kebetulannya lagi aku dengan murahannya menerima perlakuannya secara terbuka.

"Ah! Ada apa denganku?!" Teriakku frustasi.

"Sayang, kau tak apa?" Harvey? Sejak kapan ia di sini mengamatiku? Seingatku ia tengah sibuk di ruang kerjanya. Bukan hal yang aneh bila ia sering membawa berkas kantornya ke rumah. Ia kerap mengatakan bahwa menemaniku di rumah jauh lebih baik, ketimbang mengerjakan di ruang kantornya yang besar seorang diri. Dari belakang Harvey pun menjatuhkan dagunya di pundakku, sembari ia menelusuri isi microsoft word-ku yang masih kosong. "Apa kau belum menemukan ide baru?"

Aku tersenyum kikuk, mengangguk. Kau benar. Aku belum menemukan ide agar Harry bisa enyah dari otakku. Batinku berbisik seperti itu, tetapi yang keluar dari mulutku yaitu; "Kau benar. Zayn memberikan batas deadline hingga minggu ini. Dan sampai sekarang, aku belum menemukan hal yang menarik."

Faktanya demikian. Tenggat waktu penyerahan bab awal untuk novel terbaruku sudah di depan mata, namun aku belum mengetik satu baris pun. Ini rasanya tidak selancar novel pertamaku di tahun lalu. Sekarang ide-ideku tersita oleh seorang Harry Styles. Kemana sebenarnya dirinya pergi?

"Kau ingin tim penerbit baru? Aku bisa mencarikannya untukmu."

Pupil mataku melebar, tak percaya betapa entengnya ia mengatakan hal tersebut. Ku akui Harvey memang memiliki banyak koneksi. Selain karena memimpin perusahaan real estate mengharuskannya bersikap ramah, ia juga pada dasarnya menyukai berbicara. Intinya pribadi Harvey-Harry bagaikan langit dan bumi, berbeda jauh.

"Tidak perlu. Aku senang bekerjasama dengan Zayn."

Harvey tertawa manis, kemudian mencium pipiku. "Kalau begitu kau perlu merefresh pikiranmu. Kau mau jalan-jalan kemana?"

Aku mengetuk jariku ke meja. Tawarannya boleh juga. Ada banyak tempat yang berseliwer ingin ku datangi, termasuk taman hiburan yang baru resmi di buka di kawasan Manchester. Lagipula aku harus menyingkirkan Harry dari sistem otakku. Sehingga dengan itu aku bisa menghasilkan tulisan baru.

"Taman hiburan? Kau tidak keberatan?"

Harvey menggeleng. "Tentu tidak. Mengapa kau bertanya seperti itu, sayang?"

"Aku tahu kau... sibuk."

Laptopku ditutup olehnya, lantas ia menyuruhku bersiap. "Aku akan menunggumu di sini. Harry juga nampaknya sebentar lagi datang."

Harry?

Belum sempat aku bertanya, bel rumah kami terlebih dahulu berbunyi. Di saat Harvey membukakan pintu, secara refleks aku merapihkan rambutku. Lipgloss? Parfum? Gerak tanganku seketika terhenti sebelum terjatuh kesal. Mengapa sikapku ini berlebihan sekali?

Harvey dan Harry melintas melewatiku dengan raut tegang. Mereka berlalu seakan aku tidak terlihat. Pun sebuah koper turut digeret oleh Harry.

Aku berkacak pinggang di depan ruang kerja Harvey, berjalan modar-mandir menunggu pembicaraan mereka selesai. Sesekali aku pun menggigit kuku jariku. Aku tidak mampu menyingkirkan keresahanku. Apa yang telah terjadi? Apa Harry baik-baik saja?

"Angel?" Harvey memanggilku, menjadikanku menghampirinya-menghampiri mereka, Harry tepat berdiri di sampingnya. Seakan malam terlarang tidak pernah terjadi, Harry kembali bersikap dingin. Ia sama sekali enggan melihat ke arahku. Hijaunya yang kemarin dipenuhi berbagai macam perasaan, kini lenyap tak bersisa. "Bisa kita tunda dulu ke taman hiburannya?"

"Ah--ya. Tak apa. Kita bisa pergi lain waktu." Ujarku dibarengi Harvey memelukku.

"Harry memiliki sedikit masalah. Ia---" Bisikan Harvey terpotong. Aku mencium bibirnya sebagai bentuk spontanitas. Ciuman yang penuh hasrat, hingga Harvey terbawa suasana dan membalas ganas. Sejujurnya aku hanya ingin tahu bagaimana reaksi Harry.

Harry memalingkan wajahnya. Walaupun begitu ia sangat tenang, lebih dari perkiraanku. Aku berharap ia menunjukan sebersit kecemburuannya. Semudah itukah aku terlupakan? Apa malam panas itu tidak berarti apapun baginya?

"Ah, Angel."

Desahan Harvey berbanding terbalik dengan sikap Harry. Punggung Harry terlihat naik-turun. Mataku ikut turun ke bagian tangannya yang mengepal. Kepalannya kuat, ia bersiap melepaskan seluruh amarahnya detik ini juga. Aku tersenyum tipis di tengah persatuan bibirku dan Harvey. Pertahanan yang ia bangun tidak sekokoh itu rupanya. Ia cemburu, dan aku menyukainya.

"Harry, kamarmu ada tepat di depan kamar kami. Kau naiklah. Kami memiliki urusan penting yang perlu diselesaikan."

Aku membulatkan mataku mendengar kalimat Harvey. Bukan mengenai 'urusan penting' yang berarti seks, tetapi tentang 'kamarmu.'

"Apa maksudmu?" Tanyaku nyaris tanpa suara.

"Harry akan tinggal di rumah kita untuk sementara waktu. Perlakukanlah dia sebagaimana adikmu. Kau bisa?"

Penjelasan dan permintaan Harvey jelas membuat jantungku berdegup melebihi batas normal. Menetapnya Harry berarti kami bisa bertemu setiap hari, --pagi, siang, malam--, setiap detik. Itu juga berarti kemungkinan ia 'mengganguku' semakin besar, termasuk mengganggu dalam hal mengacau rumah tanggaku.

Harvey merebahkanku di sofa bersamaan dengan ia melucuti celana kami. Dari balik bulu mataku, Harry berbalik menatapku tajam ---menatap bagaimana kakaknya memasukiku. Aku mendesah tertahan sembari balas menatapnya, berharap ia di sini, di atasku dan menggantikan posisi Harvey.

Sialan, mengapa aku jadi begini?!

----

A/n:

Aku deg2an sendiri nulis buku ini...

Ayo, siapa aja yang baca In-Law? Jangan diem2 aja. Diem2 suka entar ga ku lanjut loh hehehu.

In Law // DREAMEHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin