10. PERDEBATAN REMEH

Mulai dari awal
                                    

Alden terdiam sejenak sambil meneliti wajah kesal bocah di depannya. Ia bisa melihat dengan jelas ada kilatan kesal di mata polos anak laki-laki itu. "Kau ingin aku peduli, Nak?" tanyanya balik.

Bocah itu memutar bola matanya malas. "Terserah saja."

Alden tersenyum lagi. "Aku tidak akan berada di sini bersamamu kalau aku tidak peduli, Nak."

"Jadi?" Mata bocah tersebut membulat penuh harapan.

Alden mengusap rambut pendek si Bocah Alden. "Kau sudah tahu sendiri jawabannya."

***

"Aku pesan satu kamar," ucap Alden saat ia sudah sampai di salah satu penginapan yang berada di antara perbatasan Welsh dan Ravle. Butuh setengah hari berkuda lagi untuk sampai di Ravle. Lagi-lagi, Alden harus mencari tumpangan untuk ke kota itu, sebab kudanya hilang saat insiden dikepung oleh bandit kemarin. Sejujurnya petualangan ini sangat merepotkan, apalagi dengan kehadiran bocah imajinatif si sebelahnya.

Setelah mendapat kunci, Alden melirik ke samping dan tidak mendapati bocah itu di mana-mana. Ia mengedarkan pandangannya dan mendapati bocah itu tengah memandangi hamparan rumput yang luas di belakang penginapan.

Alden mendekati bocah itu dan mengusap kepalanya lembut. "Ayo naik."

Setelah dipikir-pikir lagi, Alden mulai terbiasa dengan kehadiran anak laki-laki itu dalam kehidupannya. Selama ini, tidak pernah ada satu orang pun yang tinggal lebih dari sehari dalam hidupnya. Banyak orang yang datang dan pergi, lalu tidak pernah kembali. Semula, Alden sangat terganggu dengan datangnya bocah sial itu, tetapi kemudian, ia mulai terbiasa dengan segala cerita tidak masuk akal dan tingkahnya yang sungguh kekanak-kanakan.

Si Bocah Alden mengangguk kemudian tersenyum cerah. Untuk sedetik, Alden yakin jantungnya berhenti berdetak. Ia tidak mengerti perasaan apa yang menggerogotinya saat bocah itu tersenyum padanya. Ia langsung berbalik dan menaiki tangga yang berada di ujung ruangan. Sesampainya di kamar, ia mengeluarkan kuncinya dan berniat membuka pintu, sampai bocah tersebut menginterupsi Alden.

"Mana punyaku?" tanya bocah itu sambil menyodorkan tangannya

Alden menatap anak itu sambil menaikkan sebelah alisnya tidak mengerti.

"Kunci kamar," lanjut bocah itu lagi.

"Aku hanya memesan satu."

"Satu?" Bocah itu tampak kaget.

"Aku tidak sekaya itu untuk memesan dua, Nak." Alden membuka kamar itu dan masuk ke dalamnya. Si Bocah Alden masih menunggu di luar sambil menatapnya tidak percaya.

"Aku tidak mau tidur denganmu," protes bocah itu kesal.

Alden meletakkan semua barang-barangnya di lantai kamar, kemudian menatap bocah itu. "Kau bisa memesan kamar lagi kalau kau mau."

"Aku tidak punya uang."

Alden menggidikkan bahu tidak peduli. "Kalau begitu tidurlah di kamar ini."

"Aku tidak mau," tegas bocah itu keras kepala.

"Kalau begitu, tidurlah di luar, Nak." Alden berkacak pinggang dan mendekati ambang pintu tempat bocah itu berdiri.

"Di luar dingin."

"Jadi?" Alden bersandar di ambang pintu sambil melipat kedua tangannya dan menatap bocah tersebut intens. "Aku ingin kau memutuskannya dalam waktu 3 detik, sebelum pintu ini ditutup."

"Ta-"

"Satu," potong Alden.

Aprille tidak ingin tidur sekamar lagi dengan pria asing. Ia ingin menikmati privasinya sendiri sebagai seorang wanita, tetapi Aprille juga tidak memiliki uang yang cukup untuk memesan satu kamar lagi. Ia mendongak dan mendapati Alden masih menatapnya intens dengan pose yang sama. Aprille yakin ia sudah berkali-kali salah tingkah hanya karena gerakan kecil Alden.

"Dua," lanjut Alden.

Sebelum Alden mengatakan tiga, Aprille langsung masuk ke dalam kamar tanpa protes lebih banyak lagi. Alden menutup pintu kamarnya dan berbalik menatap Aprille yang kini sedang terlihat salah tingkah.

"Kenapa kau begitu resah, Nak?" tanya Alden sambil duduk di salah satu kursi depan perapian dan membuka sepatu boot-nya.

"Aku biasa saja," jawab bocah itu sambil duduk di pinggiran ranjang dengan kikuk.

"Kau terlihat tidak baik baik saja," bantah Alden. "Seleraku masih wanita, Nak."

Setelah selesai dengan sepatunya, Alden kemudian membuka baju hitamnya hingga menampakkan tubuh seorang pria dewasa yang tegap. Lagi-lagi, Aprille salah tingkah dan bahkan merona. Ia membuang mukanya ke tempat lain, agar tidak melihat pemandangan tabu itu.

"Aku atau kau dulu yang mandi?" tanya Alden sambil melemparkan bajunya ke kursi.

Aprille menggidikkan bahu tidak peduli sambil berusaha memfokuskan pandangannya pada sebuah lukisan. "Terserah kau saja."

"Bagaimana kalau kita mandi bersama?" goda Alden sambil tersenyum nakal.

THE PLEASURE IS ALL YOURS ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang