Take me Back - 12

45.9K 3.8K 126
                                    

Keesokannya, setelah mengantarkan Samuel ke sekolah, Nadya ke salon dan mencat rambutnya kembali kewarna sebelumnya. Hitam.

''Kenapa kau mencat rambutmu jadi hitam lagi," itu pertanyaan Ibunya saat ia mampir untuk mengambil barang-barang Samuel yang tertinggal ketika mereka tinggal selama seminggu kemarin.

"Bram nggak suka, Ma!" Ujarnya seraya memasukkan satu-persatu pakaian Samuel ke dalam tas. ''Dia juga marah karena aku memotong rambutku."

"Padahal cantik lho.''

"Tapi nggak cantik buat Bram, Ma.''

Drrtt...

Ponsel Nadya berdering. Bram.

"Halo?"

"Jam berapa ke dokter kandungannya?"

"Jam 2 siang, kenapa?" Nadya masih agak dingin pada Bram. Dia belum sepenuhnya melupakan pelukan Bram dan Renita. Apa pun alasannya, dia tetap tidak suka. Nadya mengabaikan raut protes Ibunya karena berbicara ketus pada Bram.

"Kita pergi sama, nanti kujemput."

"Hah?"

"Nanti kutelepon lagi! Aku ada rapat." Bram memutuskan panggilan sementara Nadya cemberut.

"Jangan ketus-ketus bicara sama suami! Nggak sopan itu namanya." Ibunya mengingatkan.

Nadya mengerang. Ibunya tidak tahu saja bagaimana menantu idamannya itu memperlakukannya. Tapi berdebat dengan Ibunya hanya akan menyia-nyiakan energi, sama seperti beradu argumen dengan Bram. Dia pada akhirnya akan kalah. Jadi tidak usah repot-repot mencoba. "Iya Ma," suaranya lumayan lembut bila dibangdingkan dengan hatinya yang dongkol. Bram tidak pernah terlihat jelek, selalu dia yang salah. Padahal kan tidak.

"Jam berapa ke rumah sakit, Nad?"

"Jam 2 siang, Ma."

"Bram ikut?"

Nadya mengangguk.

"Tuh lihat, dia perhatian. Padahal kerjaannya lagi banyak, papa bilang lagi ada proyek besar dan Bram banyak ambil bagian."

****

Bram menjemputnya pukul satu siang. "Sudah makan?"

"Belum."

"Kenapa belum makan? Sekarang sudah jam satu, Nad." Gumam Bram tidak senang. Matanya menatap tajam ke arah istrinya itu.

"Belum lapar," balas Nadya enteng. Kalau hamil saja diperhatikan, coba nggak, mana pernah dia peduli aku udah makan atau belum. Cibir Nadya dongkol.

"Kalau gitu kau makan dulu baru kita kerumah sakit." Putus Bram.

"Tapi janjinya jam dua, Bram. Nanti kita terlambat."

Bram mengeluarkan ponselnya dengan tidak sabar lalu menelepon seseorang. Beberapa kata tegas dan penuh perintah, kemudian telepon berakhir. "Sudah! Dokternya tidak keberatan kita terlambat sedikit."

Nadya hanya melongo, ya ampun. Bram benar-benar menjengkelkan.

***

"Bagaimana, dok?" Bram memperhatikan dokter berseragam itu, menanti jawaban. Tanpa sadar mengusap-usap punggung tangan Nadya yang tengah berbaring, wanita itu juga tengah mendengarkan. Bram hanya memiliki satu saudara, yaitu kakak perempuan. Menjadi satu-satunya anak laki-laki tidaklah menyenangkan baginya, tidak ada yang bisa diajak bermain saat kecil. Ketika dewasa pun demikian, apalagi kakaknya setelah menikah langsung tinggal diluar negri, mengikuti suaminya yang memang bekerja disana. Hingga kemudian memutuskan dalam hati, dia takkan membiarkan hal yang sama terjadi pada anaknya. Ia ingin punya banyak anak, yah setidaknya empat. Itu sudah cukup. Tapi bila melihat garangnya Nadya disaat hamil, dirinya harus lebih menyiapkan diri. Ada permintaan pasti ada imbalan kan?

Take Me Back (Play Store)Where stories live. Discover now