Preambule : Theo

6K 653 49
                                    

Awal mulanya, Theo sama sekali gak peduli sama keberadaan makhluk bernama lengkap Ridanif Samuel yang duduk di ujung kelasnya.

Namun, karena sekelas, ya lama-lama jadi kenal.

Ridan itu anaknya pendiam, pakai sangat. Cuek meski tidak dingin. Tidak suka banyak bicara, hanya mendumel pelan. Tatapan matanya selalu datar dari balik kacamatanya.

Pokoknya, setahun pertama Theo sekelas sama Ridan—yang dia tahu aktivitas anak itu di sekolah cuma belajar, tiduran di meja, ke kantin bareng Irul, ikut ekskul jurnalistik, dan pulang. Siklusnya cuma begitu aja.

"Theo, mau duduk di sebelah gue gak?"

Dan pas awal masuk SMA sebagai pelajar kelas 11, pertanyaan itu yang pertama didengar oleh Theo yang baru saja sampai di kelasnya.

Hebatnya lagi, yang nanya itu Ridan. Si cowok pendiam yang baru beberapa kali bicara sama Theo. Pembicaraannya juga tidak jauh-jauh dari urusan sekolah.

Aslinya Theo ingin duduk di sebelah Evan (agar lebih enak push rank ML bersama), tetapi untuk pertama kalinya Ridan menunjukkan ekspresi agak melas di depannya  yang berhasil membuat Theo agak kasihan.

"Ya udah deh, duduk di depan deket jendela ya tapi. Biar gue bisa nyender."

Senyum Ridan langsung mengembang tipis kepada Theo.

Dan pada saat itu Theo merasakan yang namanya dunia berhenti.

Ridan hampir tidak pernah tersenyum kepadanya, dan ini kali pertama pemuda itu menunjukkan bibirnya yang melengkung pada Theo.

Theo ingin melihat senyuman itu lagi. Ia menyukai senyuman itu.

Bukan, ini bukan love at first sight.

Ini like at first smile.

.

Theo tahu Ridan suka tidur di kelas. Tetapi, dia tidak tahu kalau Ridan hobi tidur di kelas.

Ini baru tiga hari semenjak semester baru dimulai dan Ridan sudah empat kali tidur di dalam kelas.

Ralat, ini yang kelima kalinya.

Pemuda itu malah pulas dengan kepala menyamping di atas meja, tepat terarah ke Theo yang berusaha memasukkan isi materi ke otaknya.

Tetapi sesekali melirik ke arah Ridan karena wajah Ridan terlihat menggemaskan.

Kulit Ridan tidak putih atau cokelat terbakar, melainkan cokelat terang dengan sedikit belang di tengkuk. Pipinya sedikit menunjukkan semburat merah karena kepanasan. Rambutnya yang dipotong dengan potongan rapi terlihat lepek karena keringat. Sedangkan kacamata pemuda itu masih setia bertengger di wajahnya.

Theo hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, heran kenapa ia bisa setuju-setuju saja saat Ridan menawarinya sebagai teman sebangku. Senyum anak ini memang berbahaya.

Dengan perlahan, Theo berusaha melepaskan kacamata Ridan dari wajah sang pemilik dan meletakannya di atas meja. Kini fitur wajahnya terlihat jelas.

Theo baru menyadari bahwa kelopak mata Ridan berbeda. Mata kirinya memiliki lipatan kelopak sedangkan mata kanannya tidak. Itu cukup untuk membuat Theo tersenyum.

Dia tidak bisa mengatakan Ridan itu tampan atau manis atau apalah. Dia hanya merasakan rasa senang ketika memandang wajah Ridan yang tidak menunjukkan ekspresi datar.

This boy is gonna be the death of him for sure.

.

.

A/N : detail untuk cerita ini ;

1. per bab <2000 kata, konflik akan jauh lebih ringan dari Retrograde.

2. akan sangat slow update mengingat authornya sibuk/?

3. Don't expect too much.

Kalau sempet, aku akan update dua chapter sebelum aku hiatus agak lama. Mwehehehe, keep support my stories, 'kay? :D

Vroom VroomWhere stories live. Discover now