1 | I Want You

32.3K 674 93
                                    

"Apa kali ini akan berhasil?"

Harvey Ackles, suamiku berusia 30 tahun ini bersuara gusar. Dari pantulan cermin meja rias, aku menutup botol parfumku sebelum menghampirinya yang terduduk di pinggir ranjang. Wajah tampannya kusut setiap kali makan malam keluarga hendak berlangsung. Sudah kali ketiganya Harvey mencoba, dan selalu saja berakhir dengan mengecewakan. Padahal ia telah mati-matian membujuk, mengomel, serta memohon. Tapi orang yang diharapakan bertindak acuh tak acuh. Ya, siapa lagi yang kami bicarakan jika bukan adik dari Harveyku, yaitu Harry. Tingkahnya sangat tidak kami mengerti.

"Aku yakin pasti bisa." Jawabku sembari membenahkan kerah kemejanya.

"Benarkah, sayang?"

"Sebenarnya... tidak."

Harvey tertawa, begitupun denganku. Pun ia mengehela nafas, kembali memasang raut berpikir keras. "Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan lagi padanya. Harry sudah 26 tahun, seusia denganmu. Seharusnya ia sudah memiliki gambaran tentang masa depannya."

Aku memahami keluhan Harvey-ku.

Harry sering bertingkah selayaknya remaja kecil. Entah itu berpesta, mabuk-mabukan, bermain wanita, dan sederet hal yang tidak pria lakukan lagi di usia matang. Aku bahkan mempertanyakan bagaimana bisa ia lulus kuliah, ketika yang ia tahu hanya bersenang-senang tanpa henti.

Sejujurnya permintaan orang tua Harvey maupun Harry tidak terlalu sulit. Mereka hanya perlu melihat putra bungsu mereka berkenan melanjutkan jalannya perusahaan keluarga. Mengingat Harvey telah membangun perusahaannya sendiri, tentu tidak mungkin ia merangkap jabatan sebagai direktur di dua perusahaan yang berbeda. Sehingga tersisalah Harry sebagai satu-satunya harapan. Namun hal tersebut sayangnya tidak berjalan mulus, lantaran Harry terus-menerus memberikan penolakan.

"Bicarakan baik-baik. Jangan lupa ajak ia minum dahulu." Pintaku, lantaran aku tahu bagaimana tempramennya seorang Harry. Alkohol setidaknya mampu memberikan sedikit ketenangan. Ku harap itu bisa membantu Harvey dalam usahanya membujuk Harry.

"Entahlah. Dia peminum yang handal." Pesimis Harvey. Aku menanggapinya dengan tergelak ringan.

"Oh itu mereka sudah datang."

Aku berteriak antusias saat mendengar bel rumah kami berbunyi. Harvey pun melirik cermin sekali lagi, bersiap. Ia tahu akan terjadi perang besar begitu bujuk rayunya mendarat di telinga Harry. Kejadian yang sudah terlalu sering terulang, hingga aku sampai tahu bahwa Harry nyaris membenci semua hal yang berada di dunia ini. Bunyi sendok dan piring beradu. Obrolan santai. Suara televisi. Semuanya.

"Kau siap?"

Aku mengangguk, siap menemui tiga orang yang paling berharga di hidup Harvey.

-----

"Ku harap Harry mau berubah pikiran."

Anne, ibu Harvey dan Harry, menautkan jemarinya satu sama lain, seperti berdoa. Sementara Robin terus menepuk pelan bahu Anne, berusaha mengalirkan pemikiran positif mengenai keputusan yang akan Harry ambil. Sebagai ayah dari dua pria, tentu timbul keinginan bergabungm. Ikut berbincang. Namun, Robin tahu jika Harvey bisa diandalkan bila itu berkaitan dengan Harry. Kerasnya Harry terkadang hanya kakaknya lah yang mampu menanganinya. Maka dari itu, Robin percaya penuh pada Harvey.

"Bagaimana pun Harvey adalah kakaknya. Tentu lama-kelamaan Harry akan mendengarkan nasehatnya." Sahut Robin.

Aku yang baru selesai membereskan sisa makan malam kami, lantas menuangkan anggur putih ke dalam 3 gelas. Anne tersenyum hangat. Selebihnya ia mulai bisa berhsikap tenang. Ia banyak bercerita mengenai Harry dan Harvey semasa kecil. Mereka berdua bagai dua gangster cilik Holmes Chapel -tempat mereka dibesarkan- Aku terus memegangi perutku, tertawa geli. Sulit membayangkan jika dulu Harry memiliki kepribadian yang menyenangkan. Hingga suara barang pecah dari lantai atas terdengar, canda kami pun seketika terhenti.

In Law // DREAMEWhere stories live. Discover now