- 07 -

32.9K 2.4K 67
                                    

"Oh, Arin-ah. Kau sudah datang, ya."

Sepasang saudara itu menoleh ke sumber suara dan mereka bisa menemukan Choi Hyojung berjalan ke arah mereka, dengan senyum merekah.

"Eonnie," Arin membalas senyum wanita cantik itu sebelum sedetik kemudian ia menyadari bahwa ada yang berbeda dari Hyojung.

Mata itu terlihat membengkak dan sembab dan Arin yakin itu karena pertengkarannya dan Mingyu semalam.

"Seokjun-ah, bagaimana keadaanmu? Apa kau merasa ada yang sakit?"

Seokjun tersenyum. "Aku sangat merasa baik hari ini."

"Aigoo," Hyojung terkekeh. "Sepertinya kau benar-benar dalam kondisi baik saat ini," lanjutnya sambil melihat patient monitor yang ada di sisi kanan Seokjun. Mengangguk-angguk, perhatiannya kembali tertuju pada siswa kelas satu SMA itu. "Kalau begitu, kau harus cuci darah agar kondisimu semakin baik."

Seokjun memandangi Arin. Sedikit khawatir dengan uang yang dimiliki kakaknya itu.

"A-ah, kupikir Seokjun sudah siap Eonnie," kata Arin. Menggeser sedikit tubuhnya, meminta Hyojung untuk memasangkan alat dialisis itu pada Seokjun.

Seokjun menghela nafas berat. Ia ingin protes karena ia tahu uang yang tersisa tak banyak. Tapi, dalam keadaan seperti ini, yang bisa ia lakukan hanyalah menuruti kakaknya. Sama seperti Arin yang takut kehilangan Seokjun, anak ini pun tak mau mati sekarang dan meninggalkan kakaknya sendirian.

Mendapat persetujuan dari Arin, Hyojung yang memang sudah bersetifikasi di bidangnya mulai memasangkan alat itu pada Seokjun. Sementara Arin, sibuk memperhatikan wajah Hyojung yang walaupun hari itu masih bisa tersenyum, ia tahu sebenarnya wanita ini sedang menyimpan kesedihan.

Tentu saja, Arin tak bisa membiarkannya. Mengabaikan ucapan suami Hyojung kemarin, wanita ini sudah banyak membantunya. Mulai dari menyelamatkan adiknya dari kondisi kritis, merawat adiknya, bahkan Hyojung dengan suka rela menawarkan diri untuk menjaga Seokjun disaat Arin bekerja --tentu saja tanpa mengabaikan tugasnya sebagai dokter.

"Eonnie," tanpa sadar mulut Arin memanggilnya.

"Hm?"

"Sehabis ini, bisakah kita bicara berdua?"

***

Itu sudah menit kesepuluh sejak keduanya --Arin dan Hyojung-- berada di ruang kerja wanita itu. Suasanya yang semula ramai akibat ocehan Hyojung, kini menjadi senyap ketika Arin tiba-tiba saja mengungkit masalahnya dan Mingyu.

"Kim Mingyu... Orang itu bilang apa padamu?" Hyojung bertanya dingin. Tangannya yang semula berada di sisi tubuhnya, ia lipat di dada. Tubuhnya ia balik, matanya kini menerawang pada langit lewat jendela ruang kerjanya.

"Semuanya. Dari penyebab kalian bertengkar sampai CEO-nya yang menginginkanku untuk melahirkan penerus perusahaan."

Hyojung menghela nafasnya. "Kalau kau sudah mendengarnya, pasti tahu kan alasanku tak bisa memaafkan perbuatannya?"

Arin memandangi punggung Hyojung. "Tapi waktu itu suamimu terlihat frustasi sekali, Eonnie. Dari situ saja aku sudah tahu kalau dia mengkhawatirkanmu dan..." Arin menjeda kalimatnya. "Begitu mencintaimu."

Hyojung mendengus tawa. "Itu hanya cara agar kau bersimpati padanya, supaya kau menyetujui tawaran gilanya itu," katanya. "Dan ini menyangkut dirimu Arin-ah. Kau itu sudah seperti adikku dan bayangkan bagaimana perasaan Seokjun jika sampai tahu kau menerima tawaran itu."

"Aku tak pernah menyetujui tawaran suamimu itu, Eonnie."

Hyojung melirik Arin dari ekor matanya.

"Aku meminta kau memaafkannya karena kalian berdua sudah baik sekali padaku."

"Kau..."

"Saat adikku masuk ke ruang ICU, suamimu datang dan mencoba menenangkanku. Aku hanya membalas budi baiknya. Lagipula jika aku mengiyakan tawaran itu, aku tak akan menemuimu disini, Eonnie," katanya.

Hening.

"Karena aku tahu kalau kau tak akan pernah memaafkan suamimu jika aku menerima tawaran itu."

Bahu Hyojung yang semula terlihat menegang itu mulai terlihat rileks. Mengembalikan tangan sisi tubuhnya, membalik badan. Memandangi Arin yang berdiri di depannya. "Jadi bisakah kau berjanji satu hal padaku?"

Kening Arin mengrenyit dalam.

"Jangan pernah terima tawaran suamiku, walau ia bilang CEO itu akan mengabulkan apapun permintaanmu."

Arin terdiam. Bagaimana bisa Hyojung tahu soal itu? Apa wanita ini membaca pikirannya?

"Bagaimana?"

Tersadar dari lamunannya, matanya memandangi Hyojung. "Aku berjanji," katanya. "Jadi berbaikanlah dengan suamimu ya, Eonnie?"

Menghela nafas. Hyojung mengangguk. Walau lega karena Arin sudah berjanji padanya seperti tadi, tapi tetap saja rasa kesalnya pada Kim Mingyu masih belum bisa hilang begitu saja.

***

"Kau ini bodoh atau bagaimana?!"

Teriakan Wonwoo hari itu terdengar memenuhi ruangannya. Tangan lelaki itu terkepal erat, sementara mata tajamnya menatap Mingyu yang kini tertunduk dalam.

"Kenapa kau malah memberitahu semuanya pada gadis itu?!"

Masih tak ada tanggapan.

"Ia sudah mengenali wajahku. Bagaimana jika..." Wonwoo menghela nafasnya gusar.

"Aku tak menceritakan apapun soal rencana kita, namamu, dan Jeon Group. Hanya kau yang ingin menginginkan anak itu untuk melahirkan keturunanmu..."

Wonwoo melirik Mingyu tanpa berkata.

"Dan kartu nama yang aku berikan adalah kartu nama pribadiku. Bukan kartu nama perusahaan. Jadi kau tak perlu khawatir, Hyung..." Mingyu masih mencoba membuat amarah Wonwoo padam dan sepertinya berhasil.

Itu bisa dilihat dari Wonwoo yang berjalan menuju kursi kerjanya. Mendudukkinya dan memijat pelipis untuk mengurangi pening, sepertinya.

"Dia akan benar-benar mengira kalau aku ini gila."

"Kau memang sudah gila, Hyung."

Mata Wonwoo langsung memicing ke arahnya. Nampaknya Mingyu kembali menyiramkan minyak ke api yang baru saja ingin padam.

"Jangan coba membuatku memecatmu sekarang, Mingyu-ya."

Mingyu mengangkat bahunya. "Aku hanya mengatakan apa yang ada dipikiranku."

Wonwoo mengalihkan pandangannya. Memunggungj Mingyu dengan cara memutar kursinya. Matanya memandangi kota Seoul yang nampak seperti miniatur dari kaca besar lantai teratas gedungnya.

"Bagaimana jika aku tak bisa memberikan appa keturunan secepat yang ia minta?"

"Soal itu..." Mingyu menjeda kalimatnya. "Kau pasti akan menemukan wanita lain--"

"Aku hanya ingin gadis itu," potong Wonwoo. Matanya memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong.

"Tapi Hyung--"

"Pikirkan cara agar gadis itu mau menjadi ibu dari keturunanku."

Mingyu memandangi Wonwoo tak percaya. "Istriku akan benar-benar menceraikanku jika--"

"Ini permintaan terakhirku."

Tak ada respon dari Mingyu.

"Setelah ini, aku tak akan meminta apapun darimu dan soal istrimu, aku janji akan melakukan apapun agar ia tak menceraikanmu."

"Hasilnya akan tetap sama jika istriku meminta kau untuk melepaskan gadis itu."

Wonwoo tak menjawab. Kata-kata Mingyu ia rasa ada benarnya. Choi Arin tetap tak akan bisa jadi miliknya jika Hyojung meminta gadis itu kembali.

Ah, sepertinya mau tak mau, kali ini Wonwoo memang harus melepaskan mangsanya itu....

---

TBC

Just Need a Baby ✔ [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang