chapter 2

2K 240 19
                                    

          

        

              Surai oranye nya bergerak kesana kemari seakan menari diajak sang udara untuk mengikuti setiap gerakannya.

Dingin mulai merayap, menyapa bagian kulit mulus mengangkat bulu kuduk agar meremang menghantarkan sensor ke otak agar menyuruh sang pemilik tubuh untuk mencari kehangatan.

Namun tak seperti yang diharapkan tubuh, sang pemilik lebih memilih keinginan hati dari pada otak.

Matahari sudah terlalu lama tidur digantikan Bulan dan Bintang, angin mulai bertiup merdu menghantarkan alunan lagu penghantar tidur, tapi pemuda oranye masih tetap Teguh duduk di depan nisan, memandang damai nama kageyama tobio yang tercetak disana.

Jujur saja, pemuda berumur 20 tahun ini dari ia kecil sampai masuk ke jenjang perkuliahan ia adalah pemuda yang sangat penakut dengan yang namanya hantu, apalagi kalau harus ikut kegiatan menjelajahi pemakaman pada malam hari seorang diri, dia adalah orang pertama yang akan mengundurkan diri dari keikutsertaan.

Namun untuk sekarang ketakutannya itu hilang entah kemana, ia tak bisa memikirkan apa pun selain naasnya nasib pemuda yang terkapar tak bernyawa didepannya saat ini.

                  Ia punya banyak tugas dan laporan yang harus dikerjakan, ia harus bersiap untuk presentasi yang akan ia lakukan esok hari, melakukan riset untuk kegiatan magangnya, ah ia juga punya pekerjaan paruh waktu yang harus ia penuhi.

Tapi, sejak tadi niat niat itu tak tebersit sama sekali dalam benaknya untuk dilakukan.

Ia terlalu malas untuk beranjak, bahkan terlalu malas untuk bernafas. Lelaki itu sudah berada dalam Puncak keputusasaan, ia sudah seperti anak berumur 17 tahun yang sudah lelah untuk hidup, lucu memang namun inilah drama dunia, seakan hukum Rimba siapa yang kuat menghadapinya ia dapat bertahan, namun bila lemah? Kau punya pilihan menahan luka dan depresi atau siap konsekuensi untuk mati.

               Semilir angin menerbangkan berbagai imajinasi pemuda enerjik ini, memandang kelabu suasana malam, dan menghujam hina mengingat kenangan.

Walau berusaha melupakan,bayangan kageyama muda masih terekam diotaknya.

Bagaimana pemuda itu berjalan dengan sunggingan khasnya, berlenggang menyebrangi jalan menemui sang kawan, merangkul jenaka bersama lelaki oranye, berkelakar di sepanjang jalan, bermain main, saling dorong mendorong hingga tak tahu lelaki kageyama terdorong kearah jalan Raya, saat ingin kembali ia tak sadar bahwa sebuah bus berjalan kearahnya dengan kecepatan tinggi.

Dan dengan kecepatan tinggi itu pula ia harus melihat tubuh kageyama terpental jauh, jatuh terhempas meninggalkan cairan kental berwarna merah disekujur tubuhnya.

                Bayangan itu terus bermunculan bagaikan kaset rusak, menekan otak, dan merusak setiap sel yang ada.

Kalau bisa mengulang waktu, ia ingin bahkan sangat ingin sekali bisa menggantikan lelaki tak bernyawa tersebut, lelaki itu sedang dalam masa emasnya, masa dimana ia dianggap berharga oleh banyak orang.

Ia seorang atlit genius, merupakan anak emas lulusan karasuno, siapa yang tak kagum padanya.

Berbeda dengan dirinya, ia harus merenggang impian untuk bersanding dengan kageyama di stadion akibat patah tulang yang ia derita.

Lelaki itu masih bia melanjutkan mimpi, beda dengan dirinya.

Namun apa? Seharusnya dia yang terkubur disini bukan kageyama, seharusnya ia yang tak bernafas, bukan kageyama.

Jujur saja, rasanya seperti melihat kematian mu sendiri, bahkan ini lebih buruk dari kematian, ini sangat menyiksa.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Pulanglah" ucap lelaki mungil tanpa membalikkan wajah, ia terlalu lelah saat ini "aku tahu kau bersembunyi Disana, tsukishima-kun".

ReflectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang