Sepotong Cerita dari Dunia Lain

Start from the beginning
                                    

Awalnya aku marah karena ayah dan ibu mengirim Syauqi ke panti. Bukankah tumbuh di bawah kasih sayang orangtuanya cukup sebagai obat bagi Syauqi? Namun aku salah. Orangtuaku cukup sibuk dengan pekerjaan mereka dan jarang di rumah, dan itu hanya membuat Syauqi tidak terurus. Aku bahkan dikirim ke pesantren yang jauh dari rumah karena kesibukan mereka.

Aku sedih membayangkan Syauqi harus tinggal dengan teman-temannya yang memiliki keterbelakangan dalam mental dan fisik. Ekspresi wajah-wajah anak di panti itu tidak normal. Mereka cenderung sensitif dan gampang marah. Berbagai kelainan fisik kutemui. Seperti ada yang hiperaktif sampai melukai diri, ada yang hampir lumpuh dan hanya bisa digendong, ada yang bisu dan tuli, ada yang kepalanya membengkak karena hidrosepalus, tangan kaki tidak lurus, ada yang selalu mengeluarkan air liur. Aku berpikir, seharusnya ia bergaul dengan orang-orang normal seperti kami, agar ia bisa hidup seperti orang normal. Lagi-lagi aku menyadari itu bukanlah pilihan yang tepat.

Aku mengamati Syauqi. Matanya begitu berbinar-binar memandangku. Tangan kirinya yang bengkok ia gerak-gerakkan, sementara tangan kanannya kubantu memegang pensil untuk belajar menulis.

"Waktunya makan siaaang!" Suara perawat memenuhi ruangan diikuti oleh derap langkah mereka menggiring anak-anak yang mampu untuk makan sendiri ke ruang makan. Aku menggenggam tangan Syauqi dan menuntunnya ke ruang makan. Beberapa perawat menggendong anak yang tidak bisa makan sendiri dan menyuapinya, sementara salah seorang perawat mendudukkan mereka ke kursi, menyiapkan hidangannya dan berdoa bersama-sama sebelum makan. Disitulah. Aku melihat orang itu di antara kumpulan perawat.

***

Azzam membantu menjadi perawat di panti karena pamannya. Pamannya seorang perawat di panti dan menawarinya untuk menjadi perawat untuk mengisi kekosongan beberapa perawat selama akhir pekan. Dia mulai bekerja setelah training selama 2 bulan, jadi itulah alasan mengapa aku tidak melihatnya dari awal semester disini.

Setelah sholat berjamaah bersama anak-anak panti yang mampu melakukannya, kami menemani mereka bermain-main di taman bermain depan panti. Syauqi berkejar-kejaran dengan yang lain, sementara aku menggendong eorang anak kecil berkaki bengkok. Aku dan Azzam duduk di kursi kayu dengan dua anak di gendongan kami. Cahaya matahari sore yang hangat menemani percakapan kami.

"Kalau boleh tahu, kenapa kertasmu kosong waktu itu?"

Aku tertawa kecut. Haha, dalam batinku. Semua orang pasti akan merasa aneh dengan jawaban yang akan kulontarkan. Aku memandang sekilas pada Azzam lalu menyunggingkan senyum terpaksa sebelum mulai bercerita.

"Selama enam tahun aku hidup di pesantren. Mulai dari Mts hingga MA. Sekolahku di desa terpencil, dan itu pondok pesantren salafiyah, bukan modern. Awalnya aku merasa dibuang, tapi lama-kelamaan aku mencintai pondokku. Aku belajar banyak hal disana. Aku suka belajar bahasa arab dan ilmu agama. Setiap hari aku menemukan hal baru dalam hidupku. Hingga masa belajarku berakhir, aku harus melanjutkan ke perguruan tinggi. Ketika aku izin ke ayahku untuk mengambil jurusan tafsir, Ayah bilang "Maaf, ya Nak, ayah nggak punya pesantren, ayah nggak bisa menjadikan kamu bu nyai ataupun ustadzah. Mungkin kamu harus ambil jurusan yang lebih nyata." Akhirnya aku disuruh mengambil jurusan pendidikan fisika dan ajaibnya aku diterima. Disitulah masalah muncul. Aku nggak tahu apa-apa soal fisika."

Azzam mendengarkan ceritaku tanpa komentar. Dia terdiam dan sesekali mengangguk-angguk. Aku merasakan ketidaknyamanan Azzam dengan bahasan seperti ini dan berpikir untuk mengganti topik.

"Tahu nggak Zam apa yang bisa membuatku suka bahasa arab? Waktu itu guruku ada yang cerita kalau 'kedekatan lafadz itu berarti kedekatan makna' jadi, kalau kata-kata itu hampir mirip, berarti dia punya makna yang dekat. Lebih seneng lagi waktu aku nemuin kalau sifat Allah Al-Qarib dan Ar-Raqib, yang kata-katanya adalah variasi balikan dari huruf Qaf-Ra'-Ba' memiliki arti yang dekat. Gini analisisku, kalau kita dekat dengan Allah, Allah pasti akan selalu mengawasi kita. Gimana keren kan?"

Dia tertawa. "Keren, keren..." dia menghentikan tawanya dan berujar "Aku juga tahu soal kedekatan makna itu. Kamu pernah denger Akbir dan Baaraka?"

"Wah, itu juga. Emang apa artinya?"

"Bertakbirlah pada Allah, maka Allah akan memberkatimu."

"Kereeen!" teriakku sambil tertawa.

"Kalau kamu liat lagi, akbir dan baaraka merupakan jawab dan syarat kalau dalam ilmu nahwu. Bertakbir merupakan syarat untuk adanya barakah. Nggak hanya ilmu nahwu, fisika pun punya konsep untuk hal kayak gitu."

"Apa? Emangnya ada?"

"Rumus F aksi = -F reaksi. Apa yang kita usahakan itu sama dengan hasilnya. Dalam matematika, juga ada konsep implikasi, dilambangkan pàq (p maka q). Bahasa inggris pun ada, namanya if conditional."

"Wah, mereka semua terhubung ya," gumamku sambil mengangguk-angguk.

"Semua mata pelajaran itu punya konsep sendiri. Tinggal kita saja yang harus memahami mereka, karena mereka berbicara dengan bahasa mereka yang berbeda-beda." Dia menarik napas sebentar dan melanjutkan, "Seperti hukum aksi dan reaksi, kalau kamu belajar lebih giat lagi, aku yakin hasilnya pasti akan lebih."

Aku hanya menyunggingkan segaris senyum. Hal itu tidak mudah diwujudkan.

"Kamu tahu, anak-anak cacat seperti mereka hampir tidak diketahui masyarakat. Mungkin kamu sudah tahu, tapi bagiku, ini dunia baru buatku. Kehidupanmu di pesantren, juga dunia lain. Jurusan fisika pun bagimu pasti dunia lain. Semua itu dunia yang asing. Cara terbaik untuk bisa hidup di dalamnya adalah dengan mengenalnya secara perlahan. Kamu harus mulai mengenal dunia barumu, oke?"

"Oke." Aku pun tertawa. Kami tertawa bersama.

Suara tawa kami mulai sayup-sayup menghilang ketika panas cahaya matahari memudar ditiup angin malam.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 03, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Another Kind of WorldWhere stories live. Discover now