Prolog

7.4K 269 34
                                    

Manchester, musim dingin enam tahun lalu

Duduk di depan perapian sambil menikmati semangkuk sup hangat akan lebih baik dilakukan di akhir pekan pada musim dingin seperti ini. Namun Laras lebih memilih untuk pergi menembus dinginnya udara demi bertemu dengan sang kekasih. Sore ini lelaki itu memintanya untuk bertemu di sebuah kafe. Tentu saja ia tak menolak, justru merasa senang karena mungkin pujaan hatinya itu akan memberikan kejutan mengingat hubungan mereka sudah mencapai usia satu tahun pada musim dingin kali ini.

"Laras."

Perempuan yang tengah memandang hamparan kanal dari balik jendela itu menoleh kemudian tersenyum hangat. Akhirnya seseorang yang sedang dinanti telah datang.

"Arya."

"Udah lama?" Lelaki bermantel panjang itu berbasa-basi sambil menarik kursi yang berhadapan dengan Laras, lantas mendudukinya.

"Enggak."

"Oh."

"Mau pesan apa?" Laras sengaja belum memesan minuman atau makanan tadi karena ingin memesannya bersama Arya.

"Nggak usah," jawab Arya singkat dan tak bersemangat.

Laras memandang wajah tampan kekasihnya tapi tak seperti biasa, tak ada senyum di sana. Yang ada justru gurat kesedihan. Ada apa sebenarnya? Perasaannya mulai tidak enak.

"Darl, are you okay?"

Lelaki bermata coklat itu menghela nafas berat lalu berujar tanpa sanggup menatap perempuan di hadapannya. "Laras, aku ingin hubungan kita berakhir sampai di sini."

Tiba-tiba seperti ada tombak yang menghujam dada Laras. Terasa sesak dan sangat sakit. Ia hanya bisa mematung tanpa mengeluarkan sepatah kata sementara kedua matanya mulai berkaca-kaca. Semoga pendengarannya salah, ia berharap.

Hening sejenak menyelimuti mereka berdua. Lalu ...

"Maaf. Meskipun aku mencintai kamu, tapi aku nggak bisa memilih kamu. Aku nggak bisa meninggalkan Lusi."

Kaca-kaca itu pecah membentuk bulir-bulir bening yang menetes membasahi pipi tirus Laras. Di saat yang sama, di luar sana terlihat butiran-butiran putih melayang di udara. Salju pertama turun di musim dingin ini.

Benar dugaan Laras. Ia akan mendapatkan kejutan dari kekasihnya namun sayang, bukan kejutan menyenangkan dan malah sebaliknya. Setahun lalu di musim dingin seperti ini, di kafe ini, ia dan Arya sepakat untuk berkencan walau masing-masing dari mereka telah memiliki pasangan dan mereka pun tahu akan hal itu.

Tak ada rasa cinta, hanya sebatas suka. Hubungan mereka sekadar untuk bersenang-senang, untuk mengisi kekosongan saat mereka sedang sama-sama menjalani hubungan jarak jauh dengan pasangan masing-masing. Mereka tinggal di Inggris, tepatnya di kota Manchester, sementara pasangan mereka berada di Indonesia.

Waktu terus berjalan, menjadikan rasa suka antara Arya dan Laras berubah menjadi cinta. Mereka menyadari itu. Akhirnya mereka serius menjalani hubungan, tak lagi main-main. Bahkan usai menyelesaikan studi strata dua, mereka berencana akan pulang ke Indonesia lalu menikah di sana. Untuk mewujudkan rencana indah itu mereka sepakat untuk mengakhiri hubungan dengan pasangan masing-masing.

Laras yang pertama melakukannya. Dengan hati mantap ia memutuskan lelaki yang sudah berstatus sebagai tunangannya. Ia pun mengembalikan cincin pertunangan yang selama ini melingkar di jari manisnya lewat jasa ekspedisi. Kebetulan hari ini Arya ingin bertemu dengannya. Momen pertemuan ini sekalian ia gunakan untuk memberitahu lelaki itu mengenai hal tersebut. Namun sebelum ia mengatakannya, Arya justru terlebih dlu mengucapkan sebuah kalimat yang mampu memporak-porandakan hatinya dalam sekejap. Sakit, teramat sakit.

Status Laras memang hanya sebagai kekasih kedua, tapi ia sungguh mencintai Arya. Lalu tiba-tiba ia tersadar. Bukan ia tidak tahu bahwa Arya adalah seorang Cassanova yang telah banyak mengoleksi perempuan. Bahkan teman-temannya di kampus pernah menjadi korban rayuan manis lelaki itu. Mereka sudah mewanti-wanti agar ia tak tergoda, apalagi sampai jatuh ke dalam pelukan Arya.

Awalnya memang biasa saja, namun pada akhirnya ia tergoda juga bahkan sampai rela menyerahkan hatinya dengan begitu mudah. Kini ia menyesal. Ia baru menyadari bahwa mungkin kata-kata cinta dan janji-janji manis yang diucapkan Arya untuknya hanyalah bualan belaka. Ya, sepertinya begitu, sarena yang pernah ia dengar lelaki itu memang sering bergonta-ganti perempuan, tapi ada satu nama perempuan yang selalu terpatri di hatinya. Perempuan itu bernama Lusi.

Sekarang semuanya sudah jelas. Arya memang hanya mempermainkannya saja. Ia tidak benar-benar mencintainya seperti apa yang dikatakan oleh lelaki itu. Ah, betapa bodohnya ia dengan mudah mempercayainya.

"Kamu bilang lebih mencintai aku dan ingin menikah denganku. Kamu juga bilang akan memutuskan Lusi, tapi kenapa aku yang kamu campakkan?"

Di sela-sela isak tangis dan dengan suara bergetar, akhirnya Laras mampu berkata-kata. Matanya yang basah menatap tajam lelaki yang duduk di hadapannya itu.

Arya menjambaki rambutnya. Ia terlihat sangat frustrasi. "Aku memang lebih mencintai kamu dan ingin menikahi kamu, Laras. Itu benar, tapi –"

"Enggak, itu pasti bohong." Laras menggeleng. "Kalau itu benar, kamu nggak mungkin giniin aku." Air matanya semakin menderas sementara tangannya membekap mulut agar suara tangisnya tak terdengar.

"Laras, please, listen to me."

Arya memohon agar Laras mau mendengarkan penjelasannya. Ia memang salah, tapi setidaknya ia memiliki alasan mengapa sampai harus memutuskan Laras dan memilih untuk tetap bersama Lusi.

"No! Mereka benar, kamu cuma mencintai Lusi. Nggak ada yang bisa ngegantiin dia di hati kamu. Seharusnya aku nggak percaya gitu aja sama omong kosong tentang kamu yang katanya beneran cinta sama aku dan ingin menikahi aku. Dasar player pembohong!"

Tanpa memberi kesempatan Arya untuk berbicara, Laras memilih berlari meninggalkan kafe dengan membawa luka hati yang teramat dalam. Sampai kapan pun ia akan selalu mengingat lelaki itu, lelaki yang telah menyakiti dan menghancurkan hatinya hingga tak berbentuk lagi seperti usai diterjang tsunami.

*** 

Dendam Sang Mantan  Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz