LUKA (1. Penawar Patah Hati)

2.4K 51 15
                                    


“Terimakasih, datang kembali,” senyum Winda langsung luntur setelah berkata pada pelanggan terakhir di stand-nya. Dia meraih lap bersih lalu membersihkan tangannya dengan wajah sendu. Dia meraih hape yang dia letakkan di laci paling bawah meja stand-nya. Saat menyalakan layar hapenya, tanpa sadar dia menghela napas gelisah begitu mengetahui tidak ada notifikasi apapun yang masuk. Selain notifikasi grup alumni SMA-nya tentu saja.

Jari-jari Winda bergerak dengan lincah membuka jendela chat yang sudah sekitar enam jam lalu tidak ia buka. Masih belum dibaca. Pesan yang dia kirim enam jam lalu belum dibaca oleh Rayhan. Sudah terkirim tapi belum dibaca. Rasanya gelisah, apalagi melihat kapan terakhir kali Rayhan online itu sekitar satu jam yang lalu. Tapi entah kenapa pesan enam jam yang lalu yang dikirim oleh Winda, tidak dia buka sama sekali.

Tidak mau menyerah. Winda kembali mengetikkan pesan untuk Rayhan. Sesekali kepalanya melirik ke atas, takut-takut ada pembeli yang datang.
Terkirim.

Genap dua puluh pesan yang dikirim oleh Winda pada Rayhan, kini hanya tinggal menunggu respon dari Rayhan itu sendiri.

“Mbak,”

Winda terkesiap. Dia langsung buru-buru menaruh hapenya ke dalam laci dan menatap laki-laki berambut cepak yang berdiri di depan stand-nya.

“Makan di sini atau bawa pulang?” tanya Winda dengan ramah. Dia sudah terbiasa. Merubah ekspresinya dengan cepat, memasang wajah palsu di hadapan pelanggannya, tentu saja Winda sudah terbiasa. Dia diwajibkan bersikap ramah pada setiap pelanggannya, tidak boleh melayani dengan wajah cemberut dan tatapan tajam. Walaupun kadang terasa berat di saat hati terasa gundah, tapi kita diharuskan memasang ekspresi yang bertolak belakang dengan perasaan gelisah yang sedang dialami.

Cappuccino Iced with Vanilla Ice Cream-nya satu,” ucap laki-laki itu pada Winda. Dengan cekatan Winda menekan mesin kasirnya, “dua puluh ribu,” ucapnya disertai senyuman.
Laki-laki itu memberikan uang pas pada Winda. Lantas setelah memasukkan uang ke dalam kotak mesin kasir, Winda bergegas mengambilkan pesanan milik laki-laki yang berdiri di depan standnya dengan tenang. Walaupun tidak melihat secara langsung, tapi Winda bisa tau kalau laki-laki itu sedang memperhatikan apa yang sedang dia lakukan.

Setelah memberikan ice cream vanila pada cappuccino iced yang ada di tangannya, Winda bergegas mendekat pada laki-laki itu.

Cappuccino Iced with Vanilla Ice Cream satu. Terimakasih, datang kembali,” ucap Winda ramah disertai senyumnya. Laki-laki itu meraih minuman beserta struk pembelian miliknya, lalu menatap Winda tanpa senyuman sekitar dua detik, setelah itu laki-laki itu tersenyum lembut padanya, “terimakasih,”
Seperti terhipnotis. Winda memperhatikan laki-laki yang berjalan menjauh dari stand-nya sambil meminum minumannya.

Seperti tidak asing, Winda seperti pernah melihat laki-laki itu. Senyum itu pun terasa tidak aneh baginya, seperti... dia seperti terbiasa melihatnya. Tapi kapan? Dia lupa.
Winda menundukkan kepalanya dan melihat ada kertas putih yang terlipat di samping mesin kasirnya. Winda meraihnya dan buru-buru keluar dari bilik stand-nya.

“Mas!” teriak Winda, dia berlari kecil untuk mengejar laki-laki itu. Namun laki-laki itu sudah terlalu jauh untuk mendengar teriakan Winda. Winda menunduk menatap kertas putih di tangannya. Sambil melangkah kembali ke dalam bilik stand-nya, Winda membuka kertas itu. Bukan bermaksud tidak sopan membuka privasi orang, tapi Winda hanya ingin memastikan kalau kertas ini penting atau tidak.

TerlukaWhere stories live. Discover now