2. Edelweis

446 50 16
                                    

This story written by @ndiejpank
Ini anak saya, bacanya pelan2 aja, ada yg salah bantai aja wkwkw.
Enjoy it 😁

~ Edelweis ~

"Semua yang saya lihat itu hanya abu-abu atau hitam dan putih."

Satu kalimat yang dia katakan saat senja itu masih terngiang-ngiang di kepalaku.

Setelah mengenalnya aku jadi penasaran tentang apa itu buta warna. Aku langsung mencari artikel dan jurnal online yang membahas mengenai itu.

Sejenak, aku mengingat sedikit apa yang aku baca: Monokromasi atau orang biasa mengenalnya dengan buta warna. Penderitanya hanya bisa melihat warna hitam, putih dan abu-abu saja. Seorang penderita monokromasi melihat dunia persis sama dengan melihat televisi hitam putih zaman dulu.

Aku tidak bisa membayangkan jika aku mengalami hal seperti ini. Pasti bosan dan datar luar biasa hidupku. Dengan kedua mata yang normal saja, aku merasa flat dengan hidup ini.

Rambut ikalnya berterbangan terbawa angin minggu sore itu. Kami duduk bersebelahan di teras rumah kecil yang dijadikan basecamp tempatnya mengajar dengan timnya.

"Pernah nggak, kamu ngerasa hidup ini nggak adil?" pertanyaan yang menggangu pikiranku saat itu, aku lontarkan langsung padanya.

Dengan senyuman dia menggeleng.

"Masa?" Aku jadi tambah penasaran,

Dia tampak berpikir. "Hmm ... Mungkin pernah, tapi sekarang enggak."

"Kenapa?"

Dia kembali tersenyum, dalam sorotan sinar senja yang berbenar sore itu, senyumannya tampak meneduhkan.

"Dengan begini ... Saya tahu, mana orang yang benar-benar respect terhadap kami dan orang lain." Kami yang dimaksud mungkin orang-orang yang memiliki sedikit keistimewaan seperti dirinya.

"So, kamu sibuk apa selain kegiatan di sini?" aku tak bisa menahan diri untuk bertanya lagi.

"Ngajar juga."

"Jadi kamu guru?" Dia mengangguk samar.

"Mengajar apa? SD? SMP? SMA?" cecarku langsung.

"Bahasa Indonesia di sekolah SMA swasta."

"Hooo," kepalaku otomatis mengangguk pelan.

"Kamu?" Aku tak bisa menahan senyum saat mendengarnya balik bertanya.

"Cuma pekerja swasta aja."

"Kalau sabtu-minggu kamu libur?"

"Iya," ujarku singkat.

"Kamu habiskan dengan apa?"

"Apa ya ... Paling nge-mall, pergi ke mana gitu, atau makan di luar sama teman. Atau kalau lagi mager ya ... di rumah aja seharian sambil nonton drama."

Dia mengangguk. Bibirnya bergerak ingin mengatakan sesuatu.

Sedikit lagi aku berhasil mengingatnya. Ya, kenangan itu akan sempurna seandainya suara cempreng si menyebalkan tidak terdengar.

"Laporan udah kelar belum?" tanyanya mengusik telinga dan menghancurkan tumpukan slice kenangan minggu lalu.

Aku malas menengok ke arah wanita bersuara cempreng yang sudah berdiri di dekatku.

"Buruan kerjain!" sambarnya lagi sengaja tidak memberiku ruang untuk bicara.

Demi apa?! Ingin sekali kusumpal mulut wanita ini.

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang