2. Situasi

1.5K 135 38
                                    

Situasi written by Long_Mumu



~ SITUASI ~

Hari minggu, aku menatap langit Jakarta dari balik kaca dinding apartemen. Pemandangan Jakarta yang panas terlihat cukup indah dari atas sini. Matahari sudah naik tinggi. Satu jam lagi, pasti azan Zuhur akan diserukan.

"Dek, buah kiwinya abis, ya?"

Aku menoleh pada sumber suara. Seorang lelaki melihat padaku. Tangannya memegang pintu lemari es yang terbuka.

"Iya, 'A, yang dibuat jus tadi pagi yang terakhir," jawabku, sukses membuatnya menghela napas.

Dia menutup pintu lemari es. Lalu, kembali ke tempat semula, duduk di sofa putih depan televisi. Bukan menonton, melainkan sibuk di depan M*cBook.

Setiap kali ada kesempatan, dia selalu sibuk menggunakan M*cBook. Entah apa saja yang dikerjakan. Mungkin itu hobinya. Seminggu menikah hanya memberi sedikit informasi. Diantaranya, dia sangat suka sayur dan buah, juga gila kebersihan.

Jelas teringat, betapa hebohnya dia mengamati dan mengomentari hasil kerja pada 3 hari pertama pernikahan kami. Bagaimana cara membersihkan rumah, mencuci pakaian, membersihkan peralatan memasak dan makan, juga mencuci sayur dan buah.

Well ... Tidak seperti orang kebanyakan, perkenalan kami sangat singkat. Dua minggu, dihitung dari pertama kami bertemu.

Aku tidak bilang ini kebetulan. Pastinya sudah takdir Allah Yang Maha Kuasa. Meskipun, melalui Kakakku kami berkenalan.

"Enggak ke Majid, 'A?" tanyaku, masih berdiri di tempat yang sama. "Sebentar lagi masuk waktu Zuhur."

Dia melirik sekilas sebelum kembali berkutat dengan kegiatannya. "Bisa salat di rumah."

Kuhela napas berat. Bukan lelah, tapi kecewa. Beginilah kalau menikah dengan orang yang berbeda visi. Tapi, aku tidak menyesali pernikahan. Bukankah ketentuan Allah Subhanallahu Wata'ala yang terbaik? Hanya saja, masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri.

"Kamu seharusnya berpikir dulu, Dek!" ujar Kakak ketika aku langsung menolak lamaran 'Aa waktu itu. Kami sedang berada di kamarku, baru pulang dari pertemuan singkat yang mengguncang. "Ada yang baik-baik melamar harus dipertimbangkan. Seenggaknya salat istikharah. Nanya sama Allah."

"Kenapa enggak sama Kakak saja?" tanyaku. "Kalian saling mengenal. Teman kerja. Sama-sama belum menikah."

Kakak jadi salah tingkah. Dengan memasang wajah bersalah dia berkata, "Kakak enggak suka dia. Terlalu kaku. Enggak menarik."

Aku melotot. Kakak membalas dengan cengiran memelas.

"Ayolah, Dek! Kasihan dia. Lagian kamu juga ingin segera nikah, 'kan?" kembali Kakak mendesak. "Dia baik, kok. Hanya sedikit kaku saja."

Aku diam, tidak ingin berdebat. Kuhargai niat baik Kakak, tapi tetap tidak suka caranya membantu. Dia menipuku.

Sekali lagi kuhela napas sembari berta'awudz sebelum beristighfar pelan. Setiap kali melihat tindakan 'Aa yang tidak kusukai, secara otomatis kenangan itu teringat.

Ya Allah, hamba tidak bermaksud menyesali ketentuan-Mu!

Menenangkan diri, aku berjalan mendekati 'Aa. Kududuki sofa bulat single berwarna hitam di dekatnya. Memposisikan diri agar terlihat serius, sekaligus tetap lemah lembut.

"Kalau bosnya 'Aa nelpon dan memerintahkan masuk kerja sekarang juga, 'Aa pergi ke kantor apa enggak?" aku menggiringnya dalam pembicaraan.

Dia menoleh. Tangannya berhenti bermain di atas keyboard. Malas-malas dia menjawab, "Tentu. Tanggung jawab kerja."

MonokromTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang