1: Life as a Princess

6.3K 423 31
                                    

Aku memejamkan sebelah mataku, fokus pada titik lingkaran yang ada di hadapanku, jari telunjuk dan tengahku menarik panah dan bersiap untuk melempar panahan ini ke titik tengah yang kuincar. Aku pun melepas panah tersebut dan ... tepat! Aku lagi-lagi berhasil memanah dengan tepat sasaran.

Aku tertawa dan bertepuk tangan kegirangan akan apa yang telah kuperbuat. Orang-orang yang ikut bermain denganku juga menepuk tangan mereka. Aku tahu, beberapa dari mereka ada yang tidak suka dengan hobiku yang sangat melenceng dari seorang princess yang seharusnya. Tapi mereka tetap berlagak tepuk tangan karena aku adalah orang penting di kerajaan ini, dan aku bukan wanita lemah yang pasrah jika harga diriku diinjak-injak. Aku tidak akan segan-segan memanah para Duke atau bangsawan ini jika saja mereka berani bertindak yang tidak kusukai.

Aku senang dengan diriku sendiri. Lebih tepatnya, bangga. Aku bangga karena tidak sembarang orang bisa mencacimaki diriku. Mereka semua hormat dan tunduk padaku. Aku memiliki skill yang tidak dimiliki wanita kerajaan pada umumnya. Kalau mereka bisa menenun, maka aku bisa berkelahi. Kalau mereka bisa mengajari dayang-dayangnya untuk berdansa, maka aku bisa mendapatkan daging rusa untuk disantap malam ini.

Jadi, aku bukan tipe wanita yang akan menangis dan merasa sakit hati jika ada yang mencemooh denganku. Kalau diizinkan, tentu saja aku akan menebas kepala mereka detik itu juga.

Segala suara tepuk tangan itu lenyap seketika, ketika Ibuku dan beberapa pengawalnya tiba menghampiriku. Wajah Ibuku tampak terlihat muram menahan marah. Aku tahu ia marah padaku, tapi aku tidak tahu alasan apa kali ini.

Ia menarik tanganku kasar, matanya melotot tajam ke arahku, wajahnya juga memerah di musim salju ini. Kurasa ia benar-benar menahan amarah dengan sekuat tenaga.

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Ibuku.

"Memanah," jawabku santai setengah heran. Aku sudah biasa memanah seperti ini dan Ibuku juga sudah lelah sepertinya untuk memarahiku, jadi aku merasa heran mengapa ia bertanya hal seperti ini lagi. Ini kan sudah biasa kulakukan. "Memangnya kenapa?"

"Kau benar-benar lupa kalau hari ini merupakan hari penting bagimu?!" bentak Ibu. Mungkin ia kesal melihatku menjawab hal ini dengan santai sementara dia sudah menggebu-gebu. Para pemain pun jadi ikut menyingkir dari sana. Mereka tahu, ini masalah kerajaan.

Namun aku pun berpikir untuk jawaban dari pertanyaan Ibuku. Sebenarnya jawabannya adalah: lupa. Tapi aku mencoba untuk mengingat-ingat lagi, siapa tahu aku bisa ingat.

Namun nyatanya aku tidak kunjung ingat juga.

Aku pun menggeleng. "Maaf, aku benar-benar tidak tahu. Aku lupa," jawabku namun masih berusaha untuk mengingat. Ini adalah hari penting bagiku, berarti pasti akan menyenangkan, kan?

"Ergh!" Ibuku benar-benar menahan marah. "Ini adalah perjodohanmu dengan Francis, Dauphin of France," jelas Ibuku, yang benar-benar sukses membuatku membeku. "Kau harus bersiap-siap dari sekarang. Bagaimana kalau mereka datang dan tahu kalau kelakuanmu seperti ini?"

"Memang ada apa dengan kelakuanku?"

"Kelakuan yang seharusnya bukan seorang putri tunjukan."

"Aku tidak berbuat jahat, jadi ini adalah hal yang sah-sah saja!"

"Aku harus berapa kali mengingatkanmu kalau kau ini adalah seorang putri raja!"

"Aku sudah tahu, kau tidak perlu mengingatkan itu!"

"Maka bertindaklah dengan semestinya!" Aku berhenti, mengatur napasku yang tidak beraturan, aku tidak bisa membalas ucapan Ibuku kali ini. Tuhan, sampai kapanpun, aku tidak akan bisa bertindak layaknya seorang putri.

The Sword PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang