****

"Saatnya beraksi." Ela menyeringai tajam di depan kaca rias yang ada di kamarnya.

Ia mengoleskan lip gloss natural ke bibirnya. Merapikan rambutnya yang telah ia cat sama miripnya dengan Eta.

Satu gerakan lagi, and perfect. Menjadi kembar identik membuatnya bersyukur kali ini.

Ela memakai sepatunya lalu berjalan ke luar rumah setelahnya. Tak ada orang di rumahnya jadi ia tak perlu repot-repot untuk menjawab segala macam pertanyaan yang sering dilontarkan oleh orang-orang rumah.

Ela mengendarai mobilnya menuju tempat yang ia tuju. Sebelumnya ia membeli beberapa jenis kue kering sebagai buah tangan di salah satu toko yang dekat dengan rumahnya.

Dalam perjalanan Ela tak henti-hentinya menyeringai ketika memikirkan rencana yang telah ia buat.

Mobil merahnya berhenti di depan rumah besar nan megah berlantai dua. Ela turun dari mobil sambil menenteng bungkusan dalam paper bag.

Ela menekan bel rumah ketika ia sampai di depan pintu besar berwarna cokelat. Suara ketukan sepatu dengan lantai terdengar dari dalam rumah. Ela bersiap-siap dengan wajah manisnya.

Seorang wanita cantik membukakan pintu rumah. Dia nampak kaget melihat siapa yang datang tapi, tak bisa tertutupi juga jika ia begitu senang.

"Eta!" seru Ria.

"Siang mah!" sapa Ela yang menyamar menjadi Eta.

Tidak sia-sia ia mengikuti Eta sampai atap sekolah. Banyak informasi tentang Axsa yang sama sekali belum ia tahu sebelumnya, dan informasi itu menjadi bahan permasalahan untuk Eta dan Ria.

Ria menuntun Ela masuk ke dalam rumah. Mereka duduk berdampingan di sofa setelah Ria menyuguhkan minuman dingin beserta makanan kecil kepada Ela.

"Tumben sayang kamu sendirian kesini. Axsa bukanya kerumah kamu ya?" tanya Ria.

"Uhuk..." Ela terbatuk karena kaget mendengar pertanyaan yang Ria tanyakan padanya ketika meminum air yang disuguhkan, Ria mengelus pelan pundak Ela.

Ela kebingungan, apa yang harus ia katakan kepada Ria, ia bahkan tak tahu Axsa ke rumah karena sedari pagi rumahnya tak kedatangan tamu seorangpun.

"Emm... Anu... Axsa enggak tahu Eta ke sini. Mamah jangan kasih tahu Axsa ya kalo Eta ke sini!" jawab Ela sebisa-bisanya.

"Loh bukanya Axsa mau nemenin kamu lari pagi? Terus Axsanya kemana?" tanya Ria lagi yang mulai curiga melihat gerak-gerik Ela yang seperti sedang kebingungan.

"Mampus gue! Mana tahu gue kalo mamanya Axsa sedetail gini. Kalo tahu gini gue gak bakalan ke sini."-gerutu Ela dalam hati.

"I-iya mah. Tadi pagi kita emang lari bareng. Tapi Axsa dapet telpon dari teman-temanya." Ela bernafas lega setelah ia mendapat jawaban yang tepat.

"Oh begitu ya." Ria menganggukan kepalanya lalu mengambil sekeping kue kering dari toples.

"Emm.. Mah! Mamah gak kerja?" tanya Ela mencoba menyesuaikan keadaan.

"Tadinya mamah mau ke kantor. Tapi, ada kamu kerumah ya... Kerjaan kantor bisa nunggu lah." jawab Ria santai, sesantai penampilannya.

"Oh iya. Mah Eta boleh nanya enggak?"

"Nanya apa sayang?"

"Puteri mamah meninggal ya?" tanya Ela yang membuat Ria sejenak menghentikan aktivitas memakan kue keringnya.

"Kamu tahu dari mana?" tanya Ria sambil menatap mata Ela.

Melihat tatapan Ria yang lurus ke dalam manik matanya membuat nyalinya agak menciut. Tapi ia menguatkan tekad untuk mencapai apa yang ia inginkan.

"Katanya puteri mamah meninggal gara-gara mamah. Gara-gara mamah lebih mementingkan shopping dibanding puteri mamah sendiri." Ela berbicara dengan lancar tanpa rasa takut. Bahkan rasanya ia puas melihat raut wajah Ria yang memerah, entah menahan marah, sedih atau malu tapi yang penting ia sudah menurunkan harga diri Eta di depan Ria.

"Kamu tahu dari mana?" mata Ria mulai memerah.

"Kalo Eta jadi mamah yah, Eta enggak bakalan ngorbanin orang yang Eta sayang hanya untuk memenuhi keinginan sendiri." ucapnya lagi mengabaikan tatapan yang mulai menajam dari wanita di sampingnya.

"Lancang kamu yah! Pergi dari rumah saya!" Ria berseru lantang. Ia mengusir Ela.

Nafasnya memburu, hidungnya kembang kempis menahan marah. Matanya memerah dan seperti ingin keluar dari tempatnya.

Ela yang merasa puas dengan apa yang ia lihat berdiri lalu menyeringai di hadapan Ria. Tak sangka ternyata Ria adalah orang yang tempramental.

"Saya tak menyangka wanita secantik dan terhormat seperti anda adalah seseorang yang tega membunuh anak sendiri." Ela dengan beraninya berucap di depan singa yang terkena darah tinggi di depanya.

Ria semakin bergejolak. Ia menunjuk-nunjuk Ela dan memerintahkan Ela untuk keluar.

"Keluar dari rumah saya!" serunya.

"Tak usah diusir juga saya akan pergi. Saya takut anda juga akan bunuh saya. Eh... Saya punya hadiah buat anda. Cuman kue kering sih tapi, rasanya enak. Lebih dari kue anda."

"Saya tak butuh hadiah dari kamu. Pergi dari rumah saya!" Ria membanting bingkisan yang Ela bawa membuat isinya berceceran di depannya.

Ela melangkah meninggalkan Ria yang sedang berada dalam emosi tinggi.

"Saya tak menyangka, saya kira kamu baik tapi, ternyata kamu busuk. Kata-katamu tidak pantas terlontar dari mulut seorang yang terpelajar seperti kamu." seru Ria yang membuat Ela semakin memahat seringaianya.

Tanpa memperdulikan sumpah serapah dari Ria, Ela menginjak pedal gas mobilnya menjauhi rumah Axsa.

Puas rasanya ia bisa membuat nama Eta tercoreng. Memperburuk Eta di depan Ria yang merupakan ibu dari seseorang yang ia suka.

"Tunggu kelanjutanya Roseta!" Ela menyeringai tajam bahkan lebih tajam dari silet.

*****

"Kenapa lo gak bilang kalo lo sakit?" pertanyaan Axsa menggema di ruangan serba putih. Tak ada yang menjawabnya. Hanya pantulan suaranya sendiri yang terdengar.

Eta terbaring lemah di atas brankar rumah sakit, dengan selang infus yang tertancap di lenganya dan selang oksigen yang meliliti hidungnya.

"Kenapa lo gak bilang?" tanyanya lirih, selirih angin yang berhembus menyebarkan bau khas yang menusuk hidung.

Dengan tatapan lurus pada gadis yang ia cintai, air matanya meleleh perlahan. Cukup sudah dua orang yang ia sayangi terbaring lemah tak berdaya, yang ini jangan. Tapi, tuhan berkata lain.

Axsa menggenggam tangan Eta dengan kedua tanganya. Kepalanya menindih kepalan tanganya. Menunggu gadisnya sadar dari tidurnya.

Bersambung...

Forever Alone (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang